KRISIS perkreditan yang melanda bank-bank besar di Amerika Serikat (AS) yang kemudian menjalar ke berbagai belahan dunia dan mengenai banyak bank terkemuka dunia telah membuka mata dunia bahwa risiko kredit (credit risk) bisa menimpa setiap bank betapapun topnya rating bank tersebut. Sebut saja Citigroup, Merrill Lynch, Bearn and Stearns, Bank of America, dan UBS (yang berkantor pusat di Swiss) yang semuanya adalah investment bank terkemuka di dunia.
Berbagai berita mengenai kerugian besar yang diderita bank-bank tersebut kemudian memicu kepanikan investor di seluruh dunia. Hal itu tercermin dari terkoreksinya saham-saham sektor finansial di berbagai belahan dunia, baik yang mempunyai eksposur langsung terhadap subprime mortgage dan produk derivatifnya maupun yang tidak terkait langsung, termasuk bank-bank di Indonesia.
Krisis perkreditan yang mengglobal tersebut pada mulanya berasal dari tindakan The Fed pada 2003 yang menurunkan suku bunganya menjadi 1%. Itu merupakan suku bunga terendah di Amerika selama 50 tahun terakhir. Kebijakan The Fed—saat itu di bawah kepemimpinan Alan Greenspan—menurunkan suku bunga merupakan respons bank central Amerika tersebut terhadap kondisi perekonomian AS yang dilanda resesi berkepanjangan. Kondisi resesi di AS juga melanda wilayah-wilayah lain, sehingga bank central di negara-negara tersebut juga menurunkan tingkat suku bunganya.
Di sinilah kemudian sejarah berulang. Prinsip yang menyatakan bahwa high return pasti dibayangi dengan high risk sekali lagi terbukti. Para penyedia mortgage di AS tidak menyadari bahwa harga perumahan saat subprime mortgage marak tersebut sudah merupakan inflated price. Persis seperti harga properti di Indonesia menjelang kisis moneter 1997 lalu.
Yang membuat krisis subprime mortgage di AS ini menjalar ke seluruh belahan dunia adalah sekuritisasi subprime mortgage yang dilakukan bank-bank pemberi kredit pemilikan rumah (KPR) guna mendapatkan pendanaan bagi pengembangan bisnisnya. Sekuritas berupa mortgage backed securities (MBS) dan collateralized debt obligations (CDO) ini pada masa kejayaannya sangat likuid dan beredar ke seluruh dunia.
Saat ekonomi negara Paman Sam ini ternyata tidak sembuh juga dari “demamnya”, korban-korban mulai berjatuhan. Korbannya itu yang terkait langsung dengan mortgage, yaitu bank bank dan lembaga keuangan nonbank di AS yang memberikan KPR dan juga investor institusi pemegang MBS dan CDO yang tersebar di seluruh dunia, baik itu perbankan maupun investor institusi lain seperti hedge funds.
Citigroup, bank keempat terbesar di AS, mengalami kerugian sebesar US$9,83 miliar pada kuartal keempat 2007 dari eksposur mereka pada subprime mortgage dan derivatifnya. Untuk menghindari ke¬bangkrutan, Citigroup telah mengundang Abu Dhabi Investment Authority untuk menginjeksikan dananya sebesar US$7,5 miliar. Dengan investasi tersebut, Abu Dhabi Investment Authority menguasai 4,9% saham Citigroup.
Bank besar lain yang juga menjadi korban adalah UBS. Investment bank yang berkantor pusat di Swiss ini mengalami kerugian sebesar US$12,6 miliar akibat produk-produk yang terkait dengan subprime mortgage. Akibat kerugian itu, UBS pun memerlukan injeksi modal baru. Pemerintah Singapura melalui investment arm-nya, yaitu The Government of Singapore Investment Inc., menyuntikkan modal sebesar US$9,75 miliar atau menguasai 9% saham UBS.
Secara keseluruhan, akibat dari kerugian bisnis yang berkaitan dengan subprime mortgage ini membuat UBS harus mencari tambahan modal sebesar US$26,6 miliar untuk terus dapat mengembangkan bisnisnya, terutama untuk bisnis andalannya, yaitu wealth management.
Nama besar lain yang menjadi “korban” subprime mortgage adalah Lehman Brother. Lehman Brothers harus melakukan write down sebesar US$7,8 miliar dari total kerugian sejak dimulainya krisis perkreditan yang mencapai US$15,5 miliar.
Berbagai hal dilakukan manajemen Lehman Brothers untuk menyelamatkan perusahaan. Setelah gagal mendapatkan suntikan dana dari Korea Development Bank, bank besar yang berkantor pusat di Wall Street ini mengumumkan akan men-spin off portofolio real estate komersialnya seharga US$30 miliar, lalu melepaskan 55% saham di unit aset manajemennya, dan menjual aset properti sebesar US$4 miliar kepada Black Rock di Inggris.
Lehman Brothers juga memotong dividennya untuk mengembalikan tingkat profitabilitas seperti sebelum krisis dan untuk mendapatkan kembali kepercayaan investor. Mereka juga membentuk satu unit baru khusus untuk menampung aset properti yang bermasalah. Untuk itu, mereka harus menyediakan modal US$7,5 miliar. Unit khusus ini berperan lebih kurang seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di Indonesia, yang menampung aset-aset bermasalah, sehingga perusahaan induk tidak mengalami “pendarahan” ber¬kelanjutan.
Berita terakhir menyebutkan bahwa segala usaha pembersihan yang dilakukan manajemen Lehman Brothers dipandang belum cukup untuk menambal kebocoran modal akibat krisis subprime mortgage. Akhirnya, pada medio September lalu, Lehman Brothers pun menyatakan bangkrut dengan total utang US$613 milyar.
Merrill Lynch dan Bank of America adalah nama-nama besar lain yang juga menjadi korban subprime mortgage. Merrill menderita kerugian sebesar US$5,6 miliar dari CDO dan eksposur langsung ke subprime mortgage. Akibat dari krisis ini, CEO Merrill Lynch dipecat.
Bank of America melakukan tindakan seperti yang dilakukan Lehman Brothers, yaitu membentuk giant fund untuk menampung aset bermasalah yang berasal dari subprime mortgage guna mencegah para investor menjual obligasinya secara obral yang pada akhirnya akan lebih memperparah keadaan. Hal ini merupakan tindakan pengobatan sementara, yang tidak dapat bertahan lama selama krisis subprime ini belum selesai sampai dasarnya. Padahal, banyak pihak melihat bahwa apa yang sudah terlihat saat ini belum merupakan puncak dari krisis ini.
Banyak pelajaran yang dapat diperoleh dari kejadian krisis perkreditan dan likuiditas yang berasal dari subprime mortgage. Pelajaran yang utama adalah risiko kredit akan selalu ada, bagaimanapun amannya asumsi yang ada pada awalnya. Selalu berlaku prinsip high return akan selalu diikuti dengan high risk.
Dalam kasus krisis subprime, bahkan para bankir Wall Street melupakan prinsip sederhana namun utama ini. Mereka tergiur yield yang tinggi disertai asumsi yang mereka persepsikan membuat bank mereka kebal akan prinsip utama tersebut. Mereka berasumsi bahwa harga rumah tidak akan turun karena selama 50 tahun terakhir hal tersebut telah terbukti.
Pemicu krisis subprime ini sebenarnya pada inti (core)-nya sama dengan pemicu krisis moneter yang melanda Asia pada 1997 lalu, yaitu harga properti yang telah inflated, yang bisa terjadi karena asumsi yang sama bahwa harga properti tidak akan turun. Namun, pada kenyataannya, semua akan tunduk pada salah satu hukum alam utama yang berlaku di bumi dan membuat bumi ini tetap bertahan dalam bentuknya yang sekarang, yaitu gravitasi. Semua yang naik, pada suatu saat akan turun, sehingga diperoleh suatu keseimbangan yang diperlukan untuk keberlanjutan kehidupan.
Kalaupun para bankir tersebut menyadari prinsip-prinsip di atas, mereka terlihat tidak mampu mengambil timing yang tepat untuk keluar dari bisnis subprime sebelum semuanya terlambat. Diperlukan seseorang yang mampu membaca dan memperhitungkan situasi secara cermat di saat segalanya terlihat masih sangat baik dan menguntungkan.
Kemampuan tersebut terlihat pada seorang Jamie Dimon, CEO JP Morgan, yang mengambil keputusan untuk segera mengurangi eksposur pada subprime beberapa waktu lalu saat bisnis subprime masih booming karena kemampuannya melihat sinyal-sinyal membahayakan dalam bisnis subprime. Hasilnya, walaupun JP Morgan tidak luput dari krisis yang menghantam, kerugian yang diderita tidak sebesar bank-bank kompetitor lainnya, yang bahkan sampai mengalami kebangkrutan, seperti Bearn and Stearns.
Mentalitas “me too” melompat ke dalam suatu bisnis yang terlihat menguntungkan,tanpa mengerti secara mendalam seluk-beluk dan risiko yang inheren dalam bisnis tersebut merupakan mentalitas yang berbahaya. Mentalitas ini juga terlihat pada saat sebelum terjadi krisis subprime. Bank-bank besar Wall Street dan banyak bank di belahan bumi lainnya yang sebelumnya tidak berada dalam bisnis mortgage, apalagi yang “subprime”, menumpuk portofolio subprime dan produk derivatifnya dalam balance sheet mereka dalam jumlah yang membahayakan.
Krisis subprime yang menimpa bank-bank besar di Amerika menyampaikan pesan yang jelas bahwa sebuah bank akan lebih baik untuk setia pada core business-nya. Sebab, kompetensi sumber daya yang dimiliki di bank tersebut tersedia untuk pengembangan core business tersebut.
Hal ini terlihat dari tindakan manajemen UBS yang mengambil pelajaran dari krisis yang menghantam mereka. Mereka menyatakan akan kembali berfokus pada bisnis wealth management yang merupakan keahlian mereka.
Hal yang sama juga dilakukan Citigroup, yang menyatakan akan kembali berfokus pada consumer banking dan retail banking, yang merupakan kekuatan utama mereka. Memang tidak ada salahnya mencoba berdiversifikasi ke area yang bukan merupakan core business. Tapi, diverifikasi tersebut harus dikelola sedemikian rupa, sehingga bidang bisnis baru yang dimasuki tidak mendominasi sumber daya perusahaan.
Pelajaran lain yang dapat ditarik dari krisis tersebut adalah pentingnya manajemen risiko dalam pengelolaan sebuah bank, seberapa aman pun asumsi yang mendasari suatu bisnis. Kata-kata yang diucapkan Michael Douglas dalam film Wall Street bahwa “greed is good’ ternyata tidak berlaku. Greed is bad adalah apa yang dialami New Century Financial, penyedia KPR terbesar di AS yang karena keserakahan manajemennya—untuk mengeruk untung sebanyak-banyaknya—dan mengabaikan pengelolaan risiko yang prudent membuat mereka bangkrut.
Pesan dan hikmah dari krisis subprime tersebut perlu dicermati manajemen bank-bank di Indonesia, terutama di saat saat perbankan Indonesia sudah terlihat kencang berekspansi. Mentalitas “me too”—beramai ramai terjun ke suatu segmen bisnis tertentu hanya karena segmen bisnis tersebut terlihat sangat menguntungkan dan terlihat “aman”, atau lebih parah lagi karena segmen tersebut mempunyai nilai politik yang tinggi tanpa menghitung-hitung secara cermat ketersediaan dan kemampuan sumber daya yang dimiliki serta risiko yang ada—akan menjadi jalan yang menuntun menuju kehancuran dan bahkan kebangkrutan (sumber:infobanknews).