Selasa, 30 Desember 2008

Kasus Century

Pemilik lama Bank Century disinyalir ikut terlibat dalam kisruh discretionary fund PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia yang melibatkan dana nasabah hingga Rp 400 miliar.

Menurut sumber Bisnis, otoritas pasar modal tengah mengidentifikasi kemungkinan adanya kerja sama antara pemilik lama Bank Century dan Antaboga Sekuritas.

“Bapepam-LK mengindikasi adanya kerja sama Bank Century untuk mengalihkan dana nasabahnya ke Antaboga Sekuritas yang sahamnya dikuasai orang yang sama,” ujarnya kemarin.

Kepala Eksekutif LPS Firdaus Djaelani menegaskan bahwa pihaknya sudah mendapatkan laporan dari manajemen Bank Century yang menerangkan produk investasi berupa discretionary fund atau kontrak pengelolaan dana bukan terbitan bank publik itu.

“Secara lembaga produk tersebut bukan diterbitkan Bank Century dan tidak dijual Century, kalau ada itu pemilik bank yang menjual, secara individu,” ujarnya di sela-sela rapat kerja Komisi XI dengan Bank Indonesia Jakarta, kemarin.

Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, pemegang saham Antaboga Sekuritas adalah PT Mitra Sejati Makmur Abadi sebesar 17,82% dan PT Aditya Reksautama 82,18%. Adapun Antaboga Securitas memiliki sekitar 7,44% saham Bank Century per September 2008. “Yang jelas produk semacam itu sudah dihapus oleh Bank Indonesia sejak 2006. Bank dilarang menjadi agen produk tersebut. Kalau individu memasarkan, ya kami nggak tahu.” Menurut dia, karena bukan dikeluarkan Bank Century, maka manajemen tidak bertanggung jawab atas produk yang sebagian besar dimiliki nasabah bank. Bapepam-LK mencatat investasi yang dilakukan nasabah Century terhadap produk tersebut mencapai Rp 400 miliar.

Kepala Biro Perundangan dan Bantuan Hukum Bapepam-LK Robinson Simbolon mengatakan pihaknya tidak dapat menyatakan kontrak pengelolaan dana Antaboga Sekuritas itu ilegal karena tidak ada peraturan yang melarangnya. “Tidak ada bentuk pakem tentang discretionary di pasar modal,” ujarnya.

Dia mengatakan Bapepam-LK tidak mempermasalahkan bentuk produk investasi Antaboga Sekuritas secara lebih jauh karena kasus indikasi pelanggarannya masih diproses Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam-LK.

Dalam surat perjanjian investasi yang dikeluarkan Antaboga Sekuritas yang berjudul Konfirmasi Investasi, disebutkan jenis penempatan dana nasabah berupa pengelolaan dana. (Bisnis)


Krisis Subprime Mortgage

KRISIS perkreditan yang melanda bank-bank besar di Amerika Serikat (AS) yang kemudian menjalar ke berbagai belahan dunia dan mengenai banyak bank terkemuka dunia telah membuka mata dunia bahwa risiko kredit (credit risk) bisa menimpa setiap bank betapapun topnya rating bank tersebut. Sebut saja Citigroup, Merrill Lynch, Bearn and Stearns, Bank of America, dan UBS (yang berkantor pusat di Swiss) yang semuanya adalah investment bank terkemuka di dunia.

Berbagai berita mengenai kerugian besar yang diderita bank-bank tersebut kemudian memicu kepanikan investor di seluruh dunia. Hal itu tercermin dari terkoreksinya saham-saham sektor finansial di berbagai belahan dunia, baik yang mempunyai eksposur langsung terhadap subprime mortgage dan produk derivatifnya maupun yang tidak terkait langsung, termasuk bank-bank di Indonesia.

Krisis perkreditan yang mengglobal tersebut pada mulanya berasal dari tindakan The Fed pada 2003 yang menurunkan suku bunganya menjadi 1%. Itu merupakan suku bunga terendah di Amerika selama 50 tahun terakhir. Kebijakan The Fed—saat itu di bawah kepemimpinan Alan Greenspan—menurunkan suku bunga merupakan respons bank central Amerika tersebut terhadap kondisi perekonomian AS yang dilanda resesi berkepanjangan. Kondisi resesi di AS juga melanda wilayah-wilayah lain, sehingga bank central di negara-negara tersebut juga menurunkan tingkat suku bunganya.

Di sinilah kemudian sejarah berulang. Prinsip yang menyatakan bahwa high return pasti dibayangi dengan high risk sekali lagi terbukti. Para penyedia mortgage di AS tidak menyadari bahwa harga perumahan saat subprime mortgage marak tersebut sudah merupakan inflated price. Persis seperti harga properti di Indonesia menjelang kisis moneter 1997 lalu.

Yang membuat krisis subprime mortgage di AS ini menjalar ke seluruh belahan dunia adalah sekuritisasi subprime mortgage yang dilakukan bank-bank pemberi kredit pemilikan rumah (KPR) guna mendapatkan pendanaan bagi pengembangan bisnisnya. Sekuritas berupa mortgage backed securities (MBS) dan collateralized debt obligations (CDO) ini pada masa kejayaannya sangat likuid dan beredar ke seluruh dunia.

Saat ekonomi negara Paman Sam ini ternyata tidak sembuh juga dari “demamnya”, korban-korban mulai berjatuhan. Korbannya itu yang terkait langsung dengan mortgage, yaitu bank bank dan lembaga keuangan nonbank di AS yang memberikan KPR dan juga investor institusi pemegang MBS dan CDO yang tersebar di seluruh dunia, baik itu perbankan maupun investor institusi lain seperti hedge funds.

Citigroup, bank keempat terbesar di AS, mengalami kerugian sebesar US$9,83 miliar pada kuartal keempat 2007 dari eksposur mereka pada subprime mortgage dan derivatifnya. Untuk menghindari ke¬bangkrutan, Citigroup telah mengundang Abu Dhabi Investment Authority untuk menginjeksikan dananya sebesar US$7,5 miliar. Dengan investasi tersebut, Abu Dhabi Investment Authority menguasai 4,9% saham Citigroup.

Bank besar lain yang juga menjadi korban adalah UBS. Investment bank yang berkantor pusat di Swiss ini mengalami kerugian sebesar US$12,6 miliar akibat produk-produk yang terkait dengan subprime mortgage. Akibat kerugian itu, UBS pun memerlukan injeksi modal baru. Pemerintah Singapura melalui investment arm-nya, yaitu The Government of Singapore Investment Inc., menyuntikkan modal sebesar US$9,75 miliar atau menguasai 9% saham UBS.

Secara keseluruhan, akibat dari kerugian bisnis yang berkaitan dengan subprime mortgage ini membuat UBS harus mencari tambahan modal sebesar US$26,6 miliar untuk terus dapat mengembangkan bisnisnya, terutama untuk bisnis andalannya, yaitu wealth management.

Nama besar lain yang menjadi “korban” subprime mortgage adalah Lehman Brother. Lehman Brothers harus melakukan write down sebesar US$7,8 miliar dari total kerugian sejak dimulainya krisis perkreditan yang mencapai US$15,5 miliar.

Berbagai hal dilakukan manajemen Lehman Brothers untuk menyelamatkan perusahaan. Setelah gagal mendapatkan suntikan dana dari Korea Development Bank, bank besar yang berkantor pusat di Wall Street ini mengumumkan akan men-spin off portofolio real estate komersialnya seharga US$30 miliar, lalu melepaskan 55% saham di unit aset manajemennya, dan menjual aset properti sebesar US$4 miliar kepada Black Rock di Inggris.

Lehman Brothers juga memotong dividennya untuk mengembalikan tingkat profitabilitas seperti sebelum krisis dan untuk mendapatkan kembali kepercayaan investor. Mereka juga membentuk satu unit baru khusus untuk menampung aset properti yang bermasalah. Untuk itu, mereka harus menyediakan modal US$7,5 miliar. Unit khusus ini berperan lebih kurang seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di Indonesia, yang menampung aset-aset bermasalah, sehingga perusahaan induk tidak mengalami “pendarahan” ber¬kelanjutan.

Berita terakhir menyebutkan bahwa segala usaha pembersihan yang dilakukan manajemen Lehman Brothers dipandang belum cukup untuk menambal kebocoran modal akibat krisis subprime mortgage. Akhirnya, pada medio September lalu, Lehman Brothers pun menyatakan bangkrut dengan total utang US$613 milyar.

Merrill Lynch dan Bank of America adalah nama-nama besar lain yang juga menjadi korban subprime mortgage. Merrill menderita kerugian sebesar US$5,6 miliar dari CDO dan eksposur langsung ke subprime mortgage. Akibat dari krisis ini, CEO Merrill Lynch dipecat.

Bank of America melakukan tindakan seperti yang dilakukan Lehman Brothers, yaitu membentuk giant fund untuk menampung aset bermasalah yang berasal dari subprime mortgage guna mencegah para investor menjual obligasinya secara obral yang pada akhirnya akan lebih memperparah keadaan. Hal ini merupakan tindakan pengobatan sementara, yang tidak dapat bertahan lama selama krisis subprime ini belum selesai sampai dasarnya. Padahal, banyak pihak melihat bahwa apa yang sudah terlihat saat ini belum merupakan puncak dari krisis ini.

Banyak pelajaran yang dapat diperoleh dari kejadian krisis perkreditan dan likuiditas yang berasal dari subprime mortgage. Pelajaran yang utama adalah risiko kredit akan selalu ada, bagaimanapun amannya asumsi yang ada pada awalnya. Selalu berlaku prinsip high return akan selalu diikuti dengan high risk.

Dalam kasus krisis subprime, bahkan para bankir Wall Street melupakan prinsip sederhana namun utama ini. Mereka tergiur yield yang tinggi disertai asumsi yang mereka persepsikan membuat bank mereka kebal akan prinsip utama tersebut. Mereka berasumsi bahwa harga rumah tidak akan turun karena selama 50 tahun terakhir hal tersebut telah terbukti.

Pemicu krisis subprime ini sebenarnya pada inti (core)-nya sama dengan pemicu krisis moneter yang melanda Asia pada 1997 lalu, yaitu harga properti yang telah inflated, yang bisa terjadi karena asumsi yang sama bahwa harga properti tidak akan turun. Namun, pada kenyataannya, semua akan tunduk pada salah satu hukum alam utama yang berlaku di bumi dan membuat bumi ini tetap bertahan dalam bentuknya yang sekarang, yaitu gravitasi. Semua yang naik, pada suatu saat akan turun, sehingga diperoleh suatu keseimbangan yang diperlukan untuk keberlanjutan kehidupan.

Kalaupun para bankir tersebut menyadari prinsip-prinsip di atas, mereka terlihat tidak mampu mengambil timing yang tepat untuk keluar dari bisnis subprime sebelum semuanya terlambat. Diperlukan seseorang yang mampu membaca dan memperhitungkan situasi secara cermat di saat segalanya terlihat masih sangat baik dan menguntungkan.

Kemampuan tersebut terlihat pada seorang Jamie Dimon, CEO JP Morgan, yang mengambil keputusan untuk segera mengurangi eksposur pada subprime beberapa waktu lalu saat bisnis subprime masih booming karena kemampuannya melihat sinyal-sinyal membahayakan dalam bisnis subprime. Hasilnya, walaupun JP Morgan tidak luput dari krisis yang menghantam, kerugian yang diderita tidak sebesar bank-bank kompetitor lainnya, yang bahkan sampai mengalami kebangkrutan, seperti Bearn and Stearns.

Mentalitas “me too” melompat ke dalam suatu bisnis yang terlihat menguntungkan,tanpa mengerti secara mendalam seluk-beluk dan risiko yang inheren dalam bisnis tersebut merupakan mentalitas yang berbahaya. Mentalitas ini juga terlihat pada saat sebelum terjadi krisis subprime. Bank-bank besar Wall Street dan banyak bank di belahan bumi lainnya yang sebelumnya tidak berada dalam bisnis mortgage, apalagi yang “subprime”, menumpuk portofolio subprime dan produk derivatifnya dalam balance sheet mereka dalam jumlah yang membahayakan.

Krisis subprime yang menimpa bank-bank besar di Amerika menyampaikan pesan yang jelas bahwa sebuah bank akan lebih baik untuk setia pada core business-nya. Sebab, kompetensi sumber daya yang dimiliki di bank tersebut tersedia untuk pengembangan core business tersebut.

Hal ini terlihat dari tindakan manajemen UBS yang mengambil pelajaran dari krisis yang menghantam mereka. Mereka menyatakan akan kembali berfokus pada bisnis wealth management yang merupakan keahlian mereka.

Hal yang sama juga dilakukan Citigroup, yang menyatakan akan kembali berfokus pada consumer banking dan retail banking, yang merupakan kekuatan utama mereka. Memang tidak ada salahnya mencoba berdiversifikasi ke area yang bukan merupakan core business. Tapi, diverifikasi tersebut harus dikelola sedemikian rupa, sehingga bidang bisnis baru yang dimasuki tidak mendominasi sumber daya perusahaan.

Pelajaran lain yang dapat ditarik dari krisis tersebut adalah pentingnya manajemen risiko dalam pengelolaan sebuah bank, seberapa aman pun asumsi yang mendasari suatu bisnis. Kata-kata yang diucapkan Michael Douglas dalam film Wall Street bahwa “greed is good’ ternyata tidak berlaku. Greed is bad adalah apa yang dialami New Century Financial, penyedia KPR terbesar di AS yang karena keserakahan manajemennya—untuk mengeruk untung sebanyak-banyaknya—dan mengabaikan pengelolaan risiko yang prudent membuat mereka bangkrut.

Pesan dan hikmah dari krisis subprime tersebut perlu dicermati manajemen bank-bank di Indonesia, terutama di saat saat perbankan Indonesia sudah terlihat kencang berekspansi. Mentalitas “me too”—beramai ramai terjun ke suatu segmen bisnis tertentu hanya karena segmen bisnis tersebut terlihat sangat menguntungkan dan terlihat “aman”, atau lebih parah lagi karena segmen tersebut mempunyai nilai politik yang tinggi tanpa menghitung-hitung secara cermat ketersediaan dan kemampuan sumber daya yang dimiliki serta risiko yang ada—akan menjadi jalan yang menuntun menuju kehancuran dan bahkan kebangkrutan (sumber:infobanknews).

CSR Menu Wajib Perbankan

TANGGUNG jawab sosial perusahaan atau populer dengan istilah corporate social responsibility (CSR) sebenarnya bukan hal asing bagi bank. Sebab, sekarang, CSR di banyak industri tidak lagi hanya digunakan sebagai marketing gimmick. Tapi, sudah menjadi kebutuhan perusahaan bersangkutan untuk lebih dekat dengan masyarakat dan ling­kungan sekitarnya.

Meskipun istilah itu sudah cukup familiar di telinga banyak orang, hingga kini, belum ada pengertian tunggal tentang CSR. Tapi, CSR sebenarnya merupakan bagian strategi bisnis jangka panjang sebuah korporasi. Sebab, paradigma lama yang dulu sering diusung perusahaan, yaitu mengejar keuntungan semata dan menutup mata terhadap masyarakat sekitar, sudah tidak relevan lagi.

CSR juga berfungsi menjaga citra perusahaan di mata konsumen. Pembentukan citra sebagai perusahaan yang ramah lingkungan dan peduli terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar tempat usaha akan membuat pengoperasian bisnis berjalan lebih lancar. Dan, cepat atau lambat, perusahaan ter­sebut akan memetik buah manis, yaitu pe­ningkatan profit usaha.

Aksi tanggung jawab sosial ini sudah sejak lama dilakukan berbagai industri di Indonesia. Apalagi, Indonesia ter­masuk negara rawan bencana, sehingga banyak celah bagi per­usahaan untuk menerapkan CSR. Momen bencana sering dimanfaatkan berbagai perusahaan untuk me­nunjukkan kepedulian terhadap korban bencana alam yang memang mem­butuhkan uluran tangan.

Wujudnya bermacam-macam. Mulai dari sekadar membagi-bagikan paket makanan siap santap; membuka posko layanan kesehatan, telekomunikasi, dan perbaikan kendaraan di daerah bencana; hingga terjun langsung mengevakuasi pengungsi. Perusahaan berharap, dengan melakukan kegiatan CSR, citra dan awareness terhadap perusahaan itu pun akan terdongkrak.

PT Astra International, Tbk., misalnya, memiliki sistem dan prosedur tanggap darurat saat bencana datang. Perusahaan ini punya konsep, bujet, sistem, dan tim yang jelas untuk kegiatan CSR-nya. Perusahaan lain, seperti PT H.M. Sampoerna, memanfaatkan teknologi canggih untuk mengambil keputusan cepat dalam kondisi darurat (bencana). Satu hari pascabencana, tim Sampoerna Rescue bisa mengevakuasi korban menggunakan sejumlah peralatan, seperti perahu karet dan tenda darurat. Tim ini dikendalikan Divisi Community Development Sampoerna.

Bagi sebagian perusahaan, CSR memang penyeimbang antara kepentingan perusahaan dan masyarakat. CSR juga merupakan wujud nyata paradigma bahwa bisnis tidak hanya berjalan atas kepentingan pemegang saham (shareholders), tapi juga untuk stakeholders. Perusahaan tidak akan mengesampingkan kepentingan pekerja, konsumen, masyarakat, pemerintah, dan lingkungan.

Pemikiran yang sama juga terbersit dalam benak kalangan perbankan. Sektor ini juga melihat CSR sebagai kebutuhan. Bank Indonesia (BI) mewajibkan bank melakukan program CSR, terutama di bidang pendidikan. Dalam bankers dinner medio Januari lalu, Burhanuddin Abdullah, Gubernur BI, kembali menegaskan optimalisasi peran bank dalam pembiayaan pembangunan.

Salah satu poin penting optimalisasi tersebut adalah kewajiban menerapkan CSR di setiap bank. “Bank Indonesia berpandangan bahwa CSR industri perbankan seyogianya dapat terarah pada upaya-upaya strategis dalam pembentukan masa depan bangsa, seperti bidang pendidikan,” ujar Burhanuddin dalam sambutannya. Hanya, dia menggaris­bawahi perlunya perumusan guidelines yang jelas bagi pihak bank. Hal itulah akan dirumuskan kembali oleh BI bersama bank.

Kepedulian sosial perbankan mulai tampak nyata. Beberapa bank saat ini memang sudah melakukan kegiatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Misalnya, Bank Haga yang pernah meng­adakan aksi donor darah. Tapi, sebagian kecil bank di Indonesia hanya melakukan kegiatan CSR yang bersifat charity, seperti memberi santunan dan sumbangan sembilan bahan pokok (sembako). Padahal, dengan konsep tersebut, keadaan masyarakat tidak berubah.

Kendati belum optimal, upaya perbankan ini merupakan awal yang positif untuk memulai kegiatan yang lebih besar. Beberapa bank lain pun termotivasi melakukan kegiatan CSR dengan lebih terencana. Bahkan, tidak jarang, kegiatan sosial dilakukan dalam yayasan tersendiri dan dengan bujet khusus.

Salah satunya adalah Bank Mandiri. Bank tersebut sudah melakukan kegiatan CSR sejak tahun pertama berdiri. Tapi, program CSR di Bank Mandiri baru diluncurkan pada 2004. Menurut Mansyur S. Nasution, Corporate Secretary Bank Mandiri, melalui electronic mail (e-mail) kepada InfoBank, bentuk kegiatan yang digagas Bank Mandiri cukup beragam. Intinya, tentu, perusahaan turut berperan aktif membangun masyarakat sekitar.

Beberapa tahun terakhir, Bank Mandiri memang aktif membantu korban bencana alam, membangun rumah-rumah ibadah, dan memberikan beasiswa pendidikan. Hingga saat ini, target CSR yang dilakukan Bank Mandiri adalah masyarakat yang berdomisili di wilayah kerja Bank Mandiri di seluruh Indonesia.

Seperti halnya Bank Mandiri, target kegiatan CSR Bank Danamon adalah masyarakat di wilayah kerjanya sendiri. Tapi, karena dalam beberapa tahun terakhir, Danamon Simpan Pinjam (DSP) fokus melayani masyarakat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), sasaran kegiatan CSR Bank Danamon pun lebih banyak mengarah kepada nasabah DSP tersebut.

CSR Bank Danamon diberi nama Danamon Peduli. Pada 2001, Danamon Peduli masih di bawah divisi corporate communicaion. Tapi, sejak 17 Februari 2006, Danamon Peduli ada dalam naungan yayasan mandiri yang didirikan Bank Danamon dan Adira Finance. Menurut Risa Bhinekawati, Ketua Dewan Pengurus Danamon Peduli, kepada InfoBank, belum lama ini, di kantornya, program unggulan di Danamon Peduli adalah program “Pasarku: Bersih Sehat Sejahtera”

Sesuai dengan namanya, program tersebut difokuskan di pasar-pasar, khususnya pasar tradisional. Dengan adanya program yang diarahkan pada sektor yang jarang tersentuh perbankan ini, diharapkan pengurus pasar tradisional dapat meningkat kebersihan dan kesehatan lingkungan. Sehingga, daya saingnya meningkat, dapat menarik lebih banyak pembeli, dan warga pasar pun lebih sejahtera.

Berbagai kegiatan ditempuh untuk mem­perbaiki pasar. Salah satu kegiatan yang menarik adalah konversi sampah organik menjadi kompos dengan kualitas tinggi. Uniknya, warga pasar tdak hanya diajarkan cara mengolah sampah organik menjadi kompos, tapi juga pola pemasaran kompos tersebut. Dengan mengolah dan menjual kompos, kesejahteraan hidup mereka diharap­kan bisa meningkat.

Dari sisi bujet atau investasi, jumlah dana yang dikucurkan Danamon Peduli berbeda-beda, tergantung kegiatannya. Tapi, sebagai gambaran, untuk menjaga kebersihan warga pasar, mereka membangun infrastuktur berupa pengadaan kamar mandi atau water closet (WC) yang lebih memadai. Untuk kegiatan ini, dana yang dikeluarkan per satu kegiatan Rp6 juta.

Sementara itu, ke depan, Bank Mandiri fokus ke bidang pendidikan untuk peng­aplikasian program CSR-nya. Bidang ini dipilih karena dianggap memiliki kontribusi dalam jangka panjang. Untuk bidang pendidikan, aksi sosial Bank Mandiri meng­usung tema “Mandiri Peduli Pendidikan”. Dua kegiatan utamanya adalah memberikan beasiswa serta bantuan sarana dan prasarana pendidikan.

Di bidang pendidikan, bank ini mencanang­kan 2008 sebagai tahun bagi wirausahawan muda menunjukkan kemampuannya. Dengan meluncurkan program Wirausaha Muda Mandiri, menurut Mansyur, Bank Mandiri tidak sekadar memberikan dukungan dana atau pembiayaan, tapi juga pendampingan untuk meningkatkan kapabilitas wirausaha­wan dan calon wirausahawan.

Bank Mandiri juga akan memberikan apresiasi dan stimulasi kepada pelaku UMKM dan wirausahawan muda. Secara tidak langsung, itu dapat membantu men­ciptakan lapangan kerja. Untuk melaksanakan program ini, Bank Mandiri bekerja sama dengan lebih dari 20 universitas di seluruh wilayah Indonesia. Realisasi program tersebut adalah mendidik mahasiswa dan memberikan fasilitas pembiayaan bagi mereka yang hendak membuka usaha. Dengan begitu, akan tercipta paradigma baru di kalangan anak muda, khususnya mahasiswa, dari job seeker menjadi job creator.

Danamon Peduli juga sudah merancang berbagai program jangka panjang. Untuk 2008-2011, misalnya, Danamon Peduli menargetkan ada 400 kabupaten yang dapat mengelola sampah pasarnya menjadi kompos bernilai ekonomis tinggi. “Hal ini bisa dicapai dengan cost-sharing investasi Danamon Peduli dengan pemkab (pemerintah kabupaten) atau pemkot (pemerintah kota) setempat,” ujar Risa.

Jika berhasil, tambahnya, program ini diperkirakan menghasilkan pendapatan Rp900 juta per hari bagi koperasi atau masyarakat pasar. Program ini juga akan menciptakan 3.600 lapangan kerja baru di lingkungan sekitar pasar tradisional.

Program CSR akan makin berkembang. Tujuannya, tentu memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar. Dengan me­lakukan CSR, perusahaan akan mendapat benefit, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Keuntungan itu bisa berupa laba dan citra positif perusahaan. Untuk mencapai kedua hal tersebut sudah pasti membutuhkan proses dan waktu, (sumber : InfoBankNews.com).

Ketentuan BMPK

Bank Indonesia (BI) mewajibkan bank menerapkan prinsip kehati-hatian penyaluran kredit dan melakukan penyebaran portofolio penyediaan dana terutama dengan pembatasan penyediaan dana dengan persentase tertentu terhadap pihak terkait maupun pihak yang tidak terkait dengan memperhatikan keadaan modal bank. Hal inilah yang lebih dikenal dengan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/3/PBI/ 2005 yang telah diubah dengan PBI No. 8/13/PBI/2006 tentang Batas Umum Pemberian Kredit Bank Umum. Ketentuan ini diatur lebih lanjut pada Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No. 7/14/PBI/DPNP tertanggal 18 April 2005.

Bank juga diwajibkan menerapkan manajemen risiko terutama manajemen risiko terhadap penyediaan dana kredit kepada pihak terkait maupun terhadap peminjam yang memiliki eksposur besar. Bentuk penyediaan dana lainnya yang dilakukan oleh bank adalah melalui surat berharga dalam bentuk surat pengakuan utang, wesel, obligasi, sekuritas kredit, atau bentuk lain yang lazim diperdagangkan di pasar modal dan pasar uang. Jenis penyediaan dana yang lain adalah penempatan bank pada bank lain dalam bentuk giro, interbank call money, deposito berjangka, dan sertifikat deposito. Surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali, tagihan akseptasi, derivatif kredit, transaksi rekening administratif dan potential future credit exposure dari suatu perjanjian yang bersifat derivatif, jika surat berharga tersebut termasuk dalam penyertaan modal maupun dalam penyertaan modal sementara adalah dalah satu komponen dalam penghitungan BMPK.

Berdasarkan PBI tentang BMPK maka batas penyediaan dana bank dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu:

Pertama, seluruh portofolio penyediaan dana kepada pihak terkait dengan bank ditetapkan paling tinggi 10% dari modal bank. Bank juga tidak boleh memberikan penyediaan dana kepada pihak terkait tanpa persetujuan dewan komisaris bank. Bank tidak boleh membeli aktiva berkualitas rendah dari pihak terkait. Jika kualitas penyediaan dana kepada pihak terkait menurun menjadi kurang lancar, diragukan, atau macet maka bank wajib menempuh penyelesaian dengan cara pelunasan kredit selambat-lambatnya 60 hari sejak turunnya kualitas penyediaan dana.

Yang dimaksud dengan pihak terkait adalah perseorangan, perusahaan atau badan yang mempunyai hubungan pengendalian dengan bank secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan yang dimaksud dapat berupa hubungan dalam hal kepemilikan, kepengurusan, hubungan keuangan, dan juga hubungan keluarga.

Kedua, BMPK bagi peminjam yang tidak terkait dengan bank. Untuk kategori ini, peminjam individu BMPK yang berlaku paling tinggi adalah 20% dari modal bank, sedangkan untuk peminjam kelompok BMPK tertinggi adalah 25 % dari modal bank.

Bank wajib memberikan laporan kepada BI bila terjadi pelanggaran/pelampauan BMPK. Hal ini harus dipatuhi agar BI dapat dengan segera mengambil langkah-langkah penyelesaian agar kesehatan bank bersangkutan tidak dibahayakan.

Pelampauan BMPK ini dapat disebabkan beberapa hal, misalnya terjadi karena :

  1. Penurunan modal bank, ketika modal bank menurun maka besaran persentase kredit terhadap modal pasti akan naik.
  2. Perubahan nilai tukar,
  3. Penggabungan usaha serta perubahan struktur kepengurusan yang menyebabkan perubahan pihak terkait dan atau kelompok peminjam.

Ketika terjadi pelampauan BMPK, bank diwajibkan untuk menyusun action plan yang memuat langkah-langkah penyelesaian yang akan dilakukan bank dan melaporkan action plan tersebut kepada BI.

Ada beberapa penyediaan dana yang mendapat pengecualian dari ketentuan BMPK, misalnya antara lain :

  • Penyediaan dana untuk pembelian surat berharga yang diterbitkan pemerintah Indonesia, maupun surat berharga yang diterbitkan BI. Hal ini adalah wajar mengingat kedua surat berharga tersebut memiliki likuiditas yang tinggi sehingga tidak membahayakan ketika bank melakukan penempatan pada bank kedua instrumen tersebut.

  • Penyediaan dana bank dalam bentuk penyertaan modal kepada bank lain dalam rangka konsolidasi perbankan (ini merupakan salah satu insentif yang diberikan BI agar bank yang jumlah modal minimumnya kurang segera melakukan merger) yang sifatnya hanya sementara.

Tugas direktur kepatuhan (compliance director)


Sesuai dengan  Peraturan Bank Indonesia No. : 13/ 2 /PBI/2011 tentang Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bagi Bank Umum, diatur tugas yang cukup berat untuk Direktur Kepatuhan.

Dalam pasal 10 PBI tersebut diatur tugas dan tanggung jawab sekurang-kurangnya meliputi hal-hal sebagai berikut :



  1. Merumuskan strategi guna mendorong terciptanya Budaya Kepatuhan Bank;
  2. Mengusulkan kebijakan kepatuhan atau prinsip-prinsip kepatuhan yang akan ditetapkan oleh Direksi;
  3. Menetapkan sistem dan prosedur kepatuhan yang akan digunakan untuk menyusun ketentuan dan pedoman internal Bank;
  4. Memastikan bahwa seluruh kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah;
  5. Meminimalkan Risiko Kepatuhan Bank;
  6. Melakukan tindakan pencegahan agar kebijakan dan/atau keputusan yang diambil Direksi Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing tidak menyimpang dari ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang‐undangan yang berlaku;
  7. Melakukan tugas-tugas lainnya yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan.

Berdasarkanpasal 10  PBI tersebut di atas peranan Direktur Kepatuhan adalah sangat substansial, hal ini karena Direktur Kepatuhan harus berperan aktif dalam mengantisipasi dan memonitor kepatuhan (compliance) terhadap berbagai ketentuan dan peraturan sebagai rambu-rambu kehati-hatian yang telah ditetapkan. Istilahnya adalah Direktur Kepatuhan dituntut untuk pre-emptive sekaligus waspada, karena tugasnya bukan lagi ex post, namun ex ante, meyakinkan kepatuhan Bank atas ketentuan dan mengantisipasi segala implikasi dari suatu keputusan di level Direksi.

Good Corporate Governance, risk management dan internal control menjadi prinsip-prinsip dasar acuan seorang Direktur Kepatuhan dalam melaksanakan tugas.

Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), tugas dan keberadaan Direktur Kepatuhan dalam memonitor compliance bank terhadap berbagai ketentuan dan peraturan, merupakan bagian dari Pilar IV Arsitektur Perbankan Indonesia. Pilar IV tersebut bertujuan untuk meningkatkan good corporate governance perbankan, kualitas manajemen risiko, dan kemampuan operasional manajemen.

Hal-hal Yang Harus Diketahui Tentang Kartu Kredit

Pada saat ini, kita seringkali ditawarkan kartu kredit oleh bank-bank tertentu tentunya tawaran tersebut kita tanggapi secara selektif sesuai dengan kebutuhan kita. Berikut ini merupakan hal-hal yang perlu kita ketahui tentang kartu kredit :

1. Pembayaran iuran kartu kredit.

Saat ini yang berlaku adalah iuran tahunan maupun iuran bulanan, dimana besaran iuran tersebut berbeda tergantung dari jenis kartu yang dipilih. untuk iuran bulanan diberlakukan antara lain pada Bank Mandiri dan lain-lain, sedangkan untuk iuran tahunan dapat kita temukan pada citibank, anz, dan lain-lain.

Sedangkan mengenai besarnya iuran untuk kartu Platinum lebih mahal dibandingkan Gold, dan Gold lebih mahal dibanding kartu Silver.

Beberapa penerbit kartu kredit biasanya menawarkan Gratis iuran 1 tahun pertama untuk pemegang kartu kredit baru, atau gratis pada bulan tertentu selanjutnya adalah sesuai dengan ketentuan bank yang bersangkutan.

2. Bunga yang diterapkan.

Untuk setiap penggunaan kartu kredit, apabila tidak dibayar pada bulan tagihan tentunya akan terkena bunga.

Bunga yang dikenakan rata-rata adalah jenis flat sehingga apabila diefektifkan sekitar 35% Per tahun untuk pembelanjaan.

Bunga untuk penarikan tunai yang dapat ditarik pada atm atau bank cukup besar yaitu sekitar 40-50% per tahun, sehingga sebaiknya perlu dihindari untuk penarikan tunai dan hanya digunakan untuk kepentingan mendesak .

3. Fitur dan benefit yang didapatkan

Masing-masing penerbit memberikan fitur yang hampir sama yaitu :

- Perlindungan asuransi dengan premi yang besarnya sekitar 0.5% dari tagihan per bulan
- Cash Advance : Penarikan secara tunai dari ATM yang jaringannya sama
- Cicilan s/d 24 bulan dengan bunga tetap atau bahkan 0%
- Diskon khusus untuk merchant/toko selama periode kerjasama
- Buy One get One untuk nonton bioskop
- Airport Lounge gratis di bandara
- dll.

4. Kemudahan pembayaran

Semakin besar penerbit bank tersebut biasanya kerjasama dengan bank lain untuk fasilitas pembayarannya juga lebih banyak.

Misal di Indonesia penerbit yang telah menjalin kerjasama cukup banyak adalah Mandiri, Citibank, BCA, dan BNI. Pemilik kartu kredit terbitan bank-bank tersebut dapat membayarkannya melalui jaringan ATM bank-bank yang ada tidak terbatas pada ATM bank penerbit saja. Bahkan terdapat bank yang sudah menjalin kerjasama dengan kantor pos. Sehingga pembayaran juga dapat dilakukan melalui kantor pos.

5. Penukaran point reward

Point Reward sendiri didapatkan apabila setiap pemegang kartu melakukan pembelanjaan dengan kelipatan nominal tertentu.

Point tersebut apabila dikumpulkan dan ditukarkan dengan hadiah tertentu bahkan ditukar dengan tiket pesawat.

Sejarah dan Pengertian Kartu Kredit

Pengertian kartu kredit Dalam Expert Dictionary didefinisikan: ”kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya untuk memungkinkan pembawanya membeli barang-barang yang dibutuhkannya secara hutang.

Sistem kartu kredit adalah suatu jenis penyelesaian transaksi ritel (retail) dan sistem kredit, yang namanya berasal dari kartu plastik yang diterbitkan kepada pengguna sistem tersebut. Sebuah kartu kredit berbeda dengan kartu debit di mana penerbit kartu kredit meminjamkan konsumen uang dan bukan mengambil uang dari rekening. Kebanyakan kartu kredit memiliki bentuk dan ukuran yang sama, seperti yang dispesifikasikan oleh standar ISO 7810 ( Sumber : id.wikipedia.org).

Konsep penggunaan kartu dalam transaksi perbankan ternyata telah dikenal lebih dari 67 tahun yang lalu. Meski demikian, muatan teknologi tinggi baru dapat muncul sekitar dekade 1970-an.

Pada tahun - tahun ini muncul pertama kali mesin ATM yang menandai transaksi perbankan yang ditunjang oleh teknologi telekomunikasi secara on line untuk semua nasabah selama 24 jam, penuh tidak terputus. Tiga puluh tahun kemudian, gaya transaksi elektronik ini menjadi gaya hidup lebih dari 90 persen transaksi perbankan di negara - negara maju.

Berikut ini sejarah perkembangan layanan kartu kredit yang ada di dunia :

  • Tahun 1924, Konsep penggunaan kartu dalam transaksi perbankan telah mulai diperkenalkan. Beberapa tahun kemudian metode pemakaian kartu ini diikuti oleh 100 buah bank di seluruh dunia.
  • Tahun 1950, Dinners Club dan American Express menjadi kartu yang menggunakan plastik pertama.
  • Tahun 1958, American Express menawarkan kartu untuk pasar travel dan entertainment.
  • Tahun 1966, Bank of Amerika menawarkan lisensi Kartu Amerika Bank ke bank - bank lain untuk membuat kartu pembayaran.
  • Tahun 1969, ATM (Automatic Teller Machine) pertama muncul di Inggris.
  • Tahun 1970, Ide pembuatan kartu kredit diterima secara luas.
  • Tahun 1977, Bank Americard memberi lisensi kartu kredit yang dipusatkan bersama secara resmi dibawah nama Visa.
  • Tahun 1995, Lebih dari 90 persen transaksi perbankan di Amerika dilakukan secara elektronik.

Saat ini di dunia kartu kredit diterbitkan oleh beberapa jaringan internasional yaitu VISA, MASTERCARD, DINNERS CLUB INTERNATIONAL, dan AMERICAN EXPRESS.

Untuk jaringannya sendiri saat ini yang paling luas adalah VISA, terbukti dengan dipercaya menjadi sponsor Olimpiade Beijing 2008.

Saat ini yang berhak menerbitkan kartu kredit di Indonesia adalah lembaga keuangan resmi seperti Bank. Masing-masing penerbit memiliki kelebihan dan kekuarangannya masing-masing. Untuk jenisnya sendiri adalah :

1. PLATINUM (Limit Paling Tinggi s.d. tidak terbatas)
2. GOLD (Limit Menengah s.d tinggi)
3. SILVER (Limit Rendah s.d. Menengah)
4. KHUSUS seperti Golf Card, Manchester United Card, dll.

Asas kolegial Direksi Bank kaitannya dengan Pidana Perbankan

Dengan diundangkannya UU Perseroan Terbatas (PT) yaitu UU No. 40 Tahun 2007, dalam UU tersebut mengatur tentang pertanggungjawaban direksi perseroan secara kolegial. Sistem perwakilan kolegial berarti tiap-tiap anggota Direksi berwenang mewakili Perseroan dan berbuat untuk dan atas nama perseroan sehingga tindakan salah satu direksi merupakan tanggung jawab bersama Direksi lainnya.

Penanganan kasus dugaan tindak pidana di bidang perbankan (tipibank) dalam suatu bank yang berbentuk badan hukum berupa Perseroan Terbatas (PT), perlu dipahami oleh penegak hukum mengenai kewenangan dan tanggung jawab masing-masing organ PT, sehingga batasan tanggung jawab di dalam suatu perbuatan hukum yang memenuhi unsur tindak pidana perbankan (tipibank) dapat dipahami secara tepat dan memudahkan di dalam menentukan para pelaku dugaan tipibank.

Ada perbedaan pandangan para penegak hukum terkait penerapan hukum di dalam penanganan suatu kasus, misalnya dalam hal perbuatan hukum yang dilakukan oleh direksi, dengan beberapa direktur di dalamnya, asas dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya akan kontradiktif dengan asas kolegial dalam hukum perusahaan yang termaktub dalam UU No.40. tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Bagi ahli hukum pidana kecenderungan bahwa hanya pelaku yang secara langsung melakukan “kesalahan” yang akan dipidana dan tidak dapat dialihkan atau dibebankan kepada orang lain.

Sedangkan dalam hukum perusahaan, secara jelas dan tegas, setiap pihak memiliki kewenangan dan tanggung jawab masing-masing, sehingga dapat dimungkinkan bahwa karena kewenangannya, suatu pihak, misalnya direksi, harus bertanggung jawab atas nama PT. dalam suatu perbuatan hukum yang telah dilakukan.

Perlu dicermati azas dalam hukum pidana bahwa pemidanaan didasarkan kepada adanya unsur kesalahan, yaitu asas “tiada pidana tanpa kesalahan”.





Prinsip-prinsip Dasar (Agunan atau Jaminan)

Istilah jaminan merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda yaitu "zekerheid" atau "cautie", yang secara umum artinya merupakan cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya,

Dalam peraturan perundang-undangan, kata-kata jaminan terdapat dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, dan dalam Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Selain istilah jaminan, dikenal juga istilah atau kata-kata agunan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, tidak membedakan pengertian jaminan maupun agunan, yang sama-sama memiliki arti yaitu "tanggungan". Namun dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 dan UU No. 10 Tahun 1998, membedakan pengertian dua istilah tersebut. Dimana dalam UU No. 14 Tahun 1967 lebih cenderung menggunakan istilah "jaminan" dari pada agunan.

Pada dasarnya, pemakaian istilah jaminan dan agunan adalah sama. Namun, dalam praktek perbankan istilah di bedakan, yaitu :

Istilah jaminan mengandung arti sebagai kepercayaan/keyakinan dari bank atas kemampuan atau kesanggupan debitur untuk melaksanakan kewajibannya.

Sedangkan istilah agunan diartikan sebagai barang/benda yang dijadikan jaminan untuk melunasi utang nasabah debitur.

Pengertian jaminan terdapat dalam SK Direksi Bank Indonesia No. 23/69/KEP/DIR tanggal 28 februari 1991, yaitu: "suatu keyakinan kreditur.bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan".

Sedangkan pengertian agunan diatur dalam Pasal 1 angka 23 UU No. 10 Tahun 1998, yaitu: "jaminan pokok yang diserahkan debitur dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari'ah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia".

Dalam Penjelasan Pasal 8 UU yang Diubah, terdapat 2 (dua) jenis agunan, yaitu: agunan pokok dan agunan tambahan. Agunan pokok adalah barang, surat berharga atau garansi yang berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, seperti barang-barang atau proyek-proyek yang dibeli dengan kredit yang dijaminkan. Sedangkan agunan tambahan adalah barang, surat berharga atau garansi yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, yang ditambah dengan agunan.

Menurut Pasal 1 angka 23 UU No. 10 Tahun 1998, dinyatakan "Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah".

Jadi, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari jaminan (menurut Pasal 1 angka 23 UU No. 10 Tahun 1998), yaitu:

  1. merupakan jaminan tambahan.
  2. diserahkan oleh nasabah debitur kepada bank/kreditur.
  3. untuk mendapatkan fasilitas kredit/pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari'ah.

Kegunaan dari jaminan, yaitu:
  1. memberikan hak dan kekuasaan kepada bank/kreditur untuk mendapatkan pelunasan agunan, apabila debitur melakukan cidera janji.
  2. menjamin agar debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usahanya/proyeknya, dengan merugikan diri sendiri, dapat dicegah.
  3. memberikan dorongan kepada debitur untuk memenuhi janjinya, misalnya dalam pembayaran angsuran pokok kredit tiap bulannya.

Syarat-syarat benda jaminan:
  1. secara mudah dapat membantu diperolehnya kredit itu, oleh pihak yang memerlukannya.
  2. tidak melemahkan potensi/kekuatan si pencari kredit untuk melakukan dan meneruskan usahanya.
  3. memberikan informasi kepada debitur, bahwa barang jaminan setiap waktu dapat di eksekusi, bahkan diuangkan untuk melunasi utang si penerima (nasabah debitur).

Manfaat benda jaminan bagi kreditur:

  1. terwujudnya keamanan yang terdapat dalam transaksi dagang yang ditutup.
  2. memberikan kepastian hukum bagi kreditur.

Sedangkan manfaat benda jaminan bagi debitur, adalah: untuk memperoleh fasilitas kredit dan tidak khawatir dalam mengembangkan usahanya.

Penggolongan Jaminan berdasarkan Sifatnya, yaitu:

1. Jaminan yang bersifat Umum.
merupakan jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta benda milik debitur, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yaitu" segala harta/hak kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di masa mendatang, menjadi tanggungan untuk semua perikatan perorangan".

2. Jaminan yang bersifat Khusus.
merupakan jaminan yang diberikan dengan penunjukan atau penyerahan atas suatu benda/barang tertentu secara khusus, sebagai jaminan untuk melunasi utang/kewajiban debitur, baik secara kebendaan maupun perorangan, yang hanya berlaku bagi kreditur tertentu saja.

3. Jaminan yang bersifat Kebendaan dan Perorangan.
jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda tersebut. Penggolongan jaminan berdasarkan/bersifat kebendaan dilembagakan dalam bentuk: hipotik (Pasal 1162 KUHPerdata), Hak Tanggungan, gadai (pand), dan fidusia.
sedangkan jaminan yang bersifat perorangan, dapat berupa borgtogh (personal guarantee) yang pemberi jaminannya adalah pihak ketiga secara perorangan, dan jaminan perusahaan, yang pemberi jaminannya adalah suatu badan usaha yang berbadan hukum.

Penggolongan jaminan berdasarkan Objek/Bendanya:

1. Jaminan dalam bentuk Benda Bergerak.
dikatakan benda bergerak, karena sifatnya yang bergerak dan dapat di pindahkan atau dalam UU dinyatakan sebagai benda bergerak, misalnya pengikatan hak terhadap benda bergerak. Jaminan dalam bentuk benda bergerak dibedakan atas benda bergerak yang berwujud, pengikatanya dengan gadai (pand), dan fidusia, dan benda bergerak yang tidak berwujud, yang pengikatannya dengan gadai (pand), cessie dan account revecieble.

2. Jaminan dalam bentuk Benda Tidak Bergerak.
merupakan jaminan yang berdasarkan sifatnya tidak bergerak dan tidak dapat di pindah-pindahkan, sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata. Pengikatan terhadap jaminan dalam bentuk benda bergerak berupa hak tanggungan (hipotik).

Penggolongan jaminan berdasarkan Terjadinya:

1. Jaminan yang lahir karena Undang-undang.
merupakan jaminan yang ditunjuk keberadaannya oleh undang-undang, tanpa adanya perjanjian dari para pihak, sebagaimana yangdiatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, seperti jaminan umum, hak privelege dan hak retensi.

2. Jaminan yang lahir karena Perjanjian.
merupakan jaminan yang terjadi karena adanya perjanjian antara para pihak sebelumnya, seperti gadai (pand), fidusia, hipotik, dan hak tanggungan

Rabu, 24 Desember 2008

UU Tindak Pidana Pencucian Uang

Pada tanggal 17 April 2002 telah diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Lembaran Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pencucian uang, hanya dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).

Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Undang-Undang ini yakni harta kekayaan yang berjumlah Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai setara yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan, yang dilakukan baik di wilayah RI atau di luar wilayah RI dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Perubahan atas UU ini diatur dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi pencucian uang sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamar asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1).

Perubahan dalam UU No. 25 Tahun 2003 antara lain meliputi :

a. pengertian Penyedia Jasa Keuangan yang diperluas meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan guna mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk penyedia jasa keuangan yang ada di masyarakat namun belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan munculnya bentuk penyedia jasa keuangan baru. Hal ini tampak dari ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2002 : Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi, yang kemudian diubah menjadi Pasal 1 angka 5 UU No. 25 Tahun 2003 : Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, custodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.

b. perluasan definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan, yakni : Pasal 1 angka 6 UU No. 15 Tahun 2002 : Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang
dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, menjadi Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003 :

Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah :
  1. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
  2. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau
  3. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

c. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana dihapus karena penentuan suatu perbuatan dapat dipidana tidak bergantung besar kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh, sebagaimana diatur berdasarkan : Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002 : Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan:

1. korupsi;
2. penyuapan;
3. penyelundupan barang;
4. penyelundupan tenaga kerja;
5. penyeludupan imigran;
6. perbankan;
7. narkotika;
8. psikotropika;
9. perdagangan budak, wanita, dan anak;
10. perdagangan senjata gelap;
11. penculikan;
12. terorisme;
13. pencurian;
14. penggelapan;
15. penipuan;

yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia, menjadi Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003, yakni :

(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak
pidana :
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyelundupan imigran;
f. di bidang perbankan;
g. di bidang pasar modal;
h. di bidang asuransi;
i. narkotika;
j. psikotropika;
k. perdagangan manusia;
l. perdagangan senjata gelap;
m. penculikan;
n. terorisme;
o. pencurian;
p. penggelapan;
q. penipuan;
r. pemalsuan uang;
s. perjudian;
t. prostitusi;
u. di bidang perpajakan;
v. di bidang kehutanan;
w. di bidang lingkungan hidup;
x. di bidang kelautan; atau
y. tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

(2) Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatana terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.

Selasa, 23 Desember 2008

Pengertian Rahasia Bank dan Ancaman Tindak Pidana

Pengertian Rahasia Bank sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut:

Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya.

Pasal 40 ayat (1) dari Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 mewajibkan Bank untuk menjaga rahasia Bank, yaitu berbunyi sebagai berikut:

  1. Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A.

Dari rumusan Pasal 40 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, secara eksplisit disebutkan bahwa lingkup rahasia bank adalah menyangkut bukan saja simpanan nasabah tetapi juga (identitas) Nasabah Penyimpan yang memiliki simpanan itu. Bahkan dalam rumusan Pasal 40 itu, “Nasabah Penyimpan” disebut lebih dahulu daripada “Simpanannya”.

Nampaknya dalam pikiran pembuat Undang-Undang, justru identitas Nasabah Penyimpannya lebih penting daripada Simpanannya. Atau mungkin pula dalam pikiran pembuat Undang-Undang, “Nasabah Penyimpan” sengaja disebut lebih dahulu daripada “Simpanannya”, untuk menekankan bahwa merahasiakan identitas Nasabah Penyimpannya sama pentingnya dengan merahasiakan Simpanannya.

Dibeberapa negara memang lingkup dari rahasia bank tidak ditentukan hanya terbatas kepada keadaan keuangan nasabah saja, tetapi meliputi pula identitas nasabah yang bersangkutan

Tindak Pidana Rahasia Bank

Tindak pidana rahasia bank menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Pasal 51 ialah kejahatan. Sanksi tindak pidana rahasia bank ditentukan dalam Pasal 47 ayat (2), yaitu :

pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000,- (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (dua milyar rupiah).

Ancaman Tindak Pidana rahasia Bank ini cukup berat, sehingga Bank harus melaksanakan prinsip kehatian-hatian dalam menjaga rahasia Bank. Sedangkan dalam sisi lain dalam berbagai proses hukum pihak aparat hukum kepolisian maupun kejaksaan seringkali tidak memahami sepenuhnya ketentuan mengenai rahasia Bank ini. Hal ini menjadi dilema sehingga setiap komponen Bank harus dapat memberikan penjelasan kepada aparat hukum apabila dimintai rahasia Bank akan mendapat sanksi baik yang meminta maupun yang memberi rahasia Bank.

Sejarah Rahasia Bank

Konsep rahasia bank bermula timbul dari tujuan untuk melindungi nasabah bank yang bersangkutan. Hal ini nyata terlihat ketika Court of Appeal Inggris secara bulat memutuskan pendiriannya dalam kasus Tournier v. National Provincial and Union Bank of England1 tahun 1924, suatu putusan pengadilan yang kemudian menjadi leading case law yang menyangkut ketentuan rahasia bank di Inggris dan kemudian diacu oleh pengadilan- pengadilan negara-negara lain yang menganut common law system. Bahkan 60 tahun sebelum putusan Tournier tersebut, yaitu dalam perkara Foster v. The Bank of London2 tahun 1862, juri telah berpendapat bahwa terdapat kewajiban bagi bank untuk tidak boleh mengungkapkan keadaan keuangan nasabah bank yang bersangkutan kepada pihak lain. Namun pada waktu itu pendirian tersebut belum memperoleh afirmasi dari putusan-putusan pengadilan berikutnya.

Timbulnya pemikiran untuk perlunya merahasiakan keadaan keuangan nasabah bank sehingga melahirkan ketentuan hukum mengenai kewajiban rahasia bank, adalah semula bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah secara individual. Ketentuan rahasia bank di Swiss, yaitu suatu negara yang dikenal mempunyai ketentuan rahasia bank yang dahulunya paling ketat di dunia, adalah juga semula bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah bank secara individual. Pada waktu itu ketentuan rahasia bank bersifat mutlak; artinya tidak dapat dikecualikan karena alasan apapun juga.

Ketentuan rahasia bank di Swiss lahir mula-mula sehubungan dengan kedudukan Swiss sebagai negara yang netral secara tradisional.

Alasan pertama, dalam abad ke-17, ribuan kaum Huguenots dari Perancis melarikan diri ke Swiss oleh karena mereka dikejar-kejar atau dilakukan penyiksaan-penyiksaan terhadap mereka sehubungan dengan agama yang mereka anut. Diantara mereka itu kemudian ada yang menjadi bankir, dan menginginkan agar supaya kerahasiaan dari nasabah-nasabah mereka untuk urusan-urusan keuangannya di negara asalnya dirahasiakan.

Alasan kedua adalah sehubungan dengan dikejar-kejarnya orang-orang Yahudi di waktu regime Nazi berkuasa di Jerman di tahun 1930-an dan 1940-an. Namun perkembangan sehubungan dengan keadaan politik dalam negeri, keadaan sosial, terutama yang menyangkut timbulnya kejahatan-kejahatan di bidang money laundering, dan kebutuhan akan adanya stabilitas ekonomi, terutama stabilitas moneter, telah menimbulkan kebutuhan akan perlunya pelonggaran terhadap kewajiban rahasia bank yang mutlak itu. Artinya, apabila kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum harus didahulukan daripada kepentingan nasabah secara pribadi, maka kewajiban bank untuk melindungi kepentingan nasabah secara individual itu (dalam arti tidak boleh mengungkapkan keadaan keuangan nasabah) harus dapat dikesampingkan. Contoh yang
konkrit mengenai hal ini adalah berkaitan dengan kepentingan negara untuk menghitung memungut:

1) pajak nasabah yang bersangkutan,
2) penindakan korupsi, dan
3) pemberantasan money laundering.

Merupakan hal yang kontradiktif bahwa dalam hal-hal tertentu, justru demi kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum, dikehendaki agar kewajiban rahasia bank diperketat. Kepentingan negara yang dimaksud adalah pengerahan dana perbankan untuk keperluan pembangunan. Kepentingan negara, bangsa dan masyarakat umum itu dilandasi oleh alasan bahwa dijunjung tingginya dan dipegang teguhnya kewajiban rahasia bank merupakan faktor terpenting bagi keberhasilan bank dalam upaya bank itu mengerahkan tabungan masyarakat. Selain itu terganggunya stabilitas moneter adalah antara lain dapat diakibatkan oleh runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan karena terlalu longgarnya rahasia bank. Dalam kaitan itu, undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank harus tidak memungkinkan kewajiban rahasia bank secara mudah dapat dikesampingkan dengan dalih karena kepentingan umum menghendaki demikian.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban rahasia bank yang harus dipegang teguh oleh bank adalah bukan semata-mata bagi:
(1) kepentingan nasabah sendiri, tetapi juga
(2) bagi bank yang bersangkutan dan
(3) bagi kepentingan masyarakat umum sendiri

UU Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-undang yang ditunggu-tunggu oleh segenap masyarakat Indonesia tentang transaksi elektronik telah disahkannya Undang-Undang No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tanggal 21 April 2008, saat ini bangsa Indonesia telah memasuki babak baru dalam penggunaan teknologi dan informasi.

UU ITE mutlak diperlukan bagi Negara Indonesia, karena saat ini Indonesia merupakan salah satu Negara yang telah menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi secara luas dan efisien, namun belum memiliki undang-undang cyber. Pelanggaran hukum dalam transaksi elektronik dan perbuatan hukum di dunia maya merupakan fenomena yang mengkhawatirkan, mengingat berbagai tindakan, seperti carding, hacking, cracking, phising, viruses, cybersquating, pornografi, perjudian (online gambling); transnasional crime yang memanfaatkan informasi teknologi sebagai “tool” telah menjadi bagian dari aktivitas pelaku kejahatan internet.

Cakupan materi UU ITE secara umum antara lain berisi : informasi dan dokumen elektronik, pengiriman dan penerimaan surat elektronik, tanda tangan elektronik, sertifikat elektronik, penyelenggaraan system elktronik, transaksi elektronik, hak atas kekayaan intelektual dan privasi.

Adapun terobosan-terobosan yang penting dalam UU ITE ini adalah :
  1. Tanda tangan elektronik diakui memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tandatangan konvensional (tinta basah dan bermaterai).
  2. Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP maupun Hukum Acara Perdata.
  3. Undang-Undang ITE, berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
  4. Penyelesaian sengketa, juga dapat diselesaikan dengan metode penyelesaian sengketaalternative atau arbitrase.
Fakta menunjukan, masyarakat umum dan perbankan khususnya telah melakukan kegiatan transaksi yang seluruhnya menggunakan teknologi informasi sebagai alat (tools). Berdasarkan data transaksi elektronik melalui perbankan di Indonesia (BI 2005); jumlah transaksi mencapai 1,017 milliar (39,9 juta pemegang kartu); dengan nilai transaksi mencapai Rp 1.183,7 trilyun yang dikelola 107 penyelenggara.

Mengingat transaksi elektronik ini meningkat, maka sangat diperlukan payung hukum untuk mengaturnya, untuk itulah UU ITE menjadi urgen dan mendesak segera diimplementasikan. UU ITE ini diharapkan memberikan manfaat, di antaranya akan menjamin kepastian hukum bagi masyarakat yang melakukan transaksi elektronik, mendorong pertumbuhan ekonomi, mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi dan melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Alamat Kantor Pusat Bank Pembangunan Daerah

PT. BPD RIAU, JL JEND SUDIRMAN NO. 377, PEKANBARU 0761-37050, 37060
BPD KALIMANTAN, SELATAN JL LAMBUNG MANGKURAT NO 7 BANJARMASIN 70111 0511-3350725-28
BPD KALIMANTAN TIMUR, JL JEND SUDIRMAN NO 33, SAMARINDA 0541- 735500, 739563, 739564
BPD SULAWESI TENGGARA, JL MAYJEN SUTOYO NO 95 KENDARI 0401-321526, ,322551
BPD YOGYAKARTA, JL TENTARA PELAJAR NO 7 YOGYA 0274 - 561614
PT BANK DKI, JL Ir.H.JUANDA III/7-9, JAKARTA 10120 021-2314567 (HUNTING)
PT BANK LAMPUNG, JL. WOLTERMONGINSIDI NO.182 TELUK BETUNG 35215 0721-487175, 482237
PT BANK KALTENG, JL RTA MILONO NO 12 , PALANGKARAYA 0536-25602
PT BPD ACEH, JL TGK. H. MOH. DAUD BEUREUEH NO.24, BANDA ACEH 0651-22966
PT BPD JAMBI, JL JEND A.YANI NO 18 TELANAI PURA JAMBI 0741-60416, 60665
PT BPD SULAWESI SELATAN, JL.Dr. SAM RATULANGI NO. 16 MAKASSAR 0411-859171-72-73-74, 859179, 859181
PT BPD SUMATERA BARAT, (BANK NAGARI)JL PEMUDA NO 21 PADANG (0751) 31577, 31578
PT. BPD JAWA BARAT DAN BANTEN, JL. NARIPAN NO.12-14 BANDUNG 40111 (022) 4234868
PT. BPD KALIMANTAN BARAT, JL.RAHADI OSMAN NO.10,PONTIANAK (0561) 732148, 734351, 734713
PT. BPD MALUKU JL RY PATTIMURA, NO 7 AMBON 0911-42029, 42414
PT. BPD BENGKULU, JL BASUKI RAHMAD NO 6 BENGKULU (0736) 22144
PT. BPD JAWA TENGAH, JL PEMUDA NO 142 ,SEMARANG 024-549671, 547541, 518034
PT. BPD JAWA TIMUR, JL.BASUKI RAKHMAD NO.98-104,SURABAYA (031) 5310836, 5310090, 5310838,
PT. BPD NUSA TENGGARA BARAT, JL PEJANGGIK NO 30 MATARAM 83126, NUSA TENGGARA BARAT (0370) 636331, 635332
PT. BPD NUSA TENGGARA TIMUR, JL DR MOH HATTA NO 56 KUPANG (0380) 833212, 833548
PT. BPD SULAWESI TENGAH, JL SULTAN HASANUDDIN NO 20 PALU SULTENG (0451)421780,421783
PT. BPD SULAWESI UTARA, JL SAMRATULANGI NO 27,MANADO (0431) 851451, 851759
PT. BPD BALI, JL. RAYA PUPUTAN NITI MANDALA, DENPASAR (0361) 223301 - 8
PT. BPD PAPUA, (d/h BPD IRIAN JAYA)JL A. YANI NO. 5 - 7, JAYAPURA (0967) 532011, 534114, 531611
PT. BPD SUMATERA SELATAN, JL KAPT.A.RIVAI NO.21, PALEMBANG (0711) 350494, 351867, 372911
PT. BPD SUMATERA UTARA, JL IMAM BONJOL NO 18 MEDAN 061-555100, 515100

Sejarah Perbankan

Asal Mula Kegiatan Perbankan

Sejarah mencatat asal mula dikenalnya kegiatan perbankan adalah pada zaman kerajaan tempo dulu di daratan Eropa. Kemudian usaha perbankan ini berkembang ke Asia Barat oleh para pedagang. Perkembangan perbankan di Asia, Afrika dan Amerika] dibawa oleh bangsa Eropa pada saat melakukan penjajahan ke negara jajahannya baik di Asia, Afrika maupun benua Amerika. Bila ditelusuri, sejarah dikenalnya perbankan dimulai dari jasa penukaran uang. Sehingga dalam sejarah perbankan, arti bank dikenal sebagai meja tempat penukaran uang. Dalam perjalanan sejarah kerajaan tempo dulu mungkin penukaran uangnya dilakukan antar kerajaan yang satu dnegan kerajaan yang lain. Kegiatan penukaran ini sekarang dikenal dengan nama Pedagang Valuta Asing (Money Changer). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan operasional perbankan berkembang lagi menjadi tempat penitipan uang atau yang disebut sekarang ini kegiatan simpanan. Berikutnya kegiatan perbankan bertambah dengan kegiatan peminjaman uang. Uangyang disimpan oleh masyarakat, oleh perbankan dipinjamkan kembali kepada masyarakatyang membutuhkannya. Jasa-jasa bank lainnya menyusul sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam.

Sejarah Perbankan di Indonesia

Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda. Bank-bank yang ada itu antara lain:

  1. De Javasce NV.
  2. De Post Poar Bank.
  3. Hulp en Spaar Bank.
  4. De Algemenevolks Crediet Bank.
  5. Nederland Handles Maatscappi (NHM).
  6. Nationale Handles Bank (NHB).
  7. De Escompto Bank NV.

Di samping itu, terdapat pula bank-bank milik orang Indonesia dan orang-orang asing seperti dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Bank-bank tersebut antara lain:

  1. Bank Nasional indonesia.
  2. Bank Abuan Saudagar.
  3. NV Bank Boemi.
  4. The Chartered Bank of India.
  5. The Yokohama Species Bank.
  6. The Matsui Bank.
  7. The Bank of China.
  8. Batavia Bank.

Di zaman kemerdekaan, perbankan di Indonesia bertambah maju dan berkembang lagi. Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh pemerintah Indonesia. Bank-bank yang ada di zaman awal kemerdekaan antara lain:

  1. Bank Negara Indonesia, yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 yang sekarang dikenal dengan BNI '46.
  2. Bank Rakyat Indonesia yang didirikan tanggal 22 Februari 1946. Bank ini berasal dari De Algemenevolks Crediet Bank atau Syomin Ginko.
  3. Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur (MAI) tahun 1945 di Solo.
  4. Bank Indonesia di Palembang tahun 1946.
  5. Bank Dagang Nasional Indonesia tahun 1946 di Medan.
  6. Indonesian Banking Corporation tahun 1947 di Yogyakarta, kemudian menjadi Bank Amerta.
  7. NV Bank Sulawesi di Manado tahun 1946.
  8. Bank Dagang Indonesia NV di Samarinda tahun 1950 kemudian merger dengan Bank Pasifik.
  9. Bank Timur NV di Semarang berganti nama menjadi Bank Gemari. Kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA) tahun 1949.

Di Indonesia, praktek perbankan sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan. Lembaga keuangan berbentuk bank di Indonesia berupa Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Umum Syari'ah, dan juga BPR Syari'ah (BPRS).

Masing-masing bentuk lembaga bank tersebut berbeda karakteristik dan fungsinya.

Sejarah Bank Pemerintah

Seperti diketahu bahwa Indonesia mengenal dunia perbankan dari bekas penjajahnya, yaitu Belanda. Oleh karena itu, sejarah perbankanpun tidak lepas dari pengaruh negara yang menjajahnya baik untuk bank pemerintah maupun bank swasta nasional. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat sejarah bank-bank milik pemerintah, yaitu:

  • Bank Sentral
    Bank Sentral di Indonesia adalah Bank Indonesia (BI) berdasarkan UU No 13 Tahun 1968. Kemudian ditegaskan lagi dnegan UU No 23 Tahun 1999.Bank ini sebelumnya berasal dari De Javasche Bank yang di nasionalkan di tahun 1951.
  • Bank Rakyat Indonesia dan Bank Expor Impor
    Bank ini berasal dari De Algemene Volkscrediet Bank, kemudian di lebur setelah menjadi bank tunggal dengan nama Bank Nasional Indonesia (BNI) Unit II yang bergerak di bidang rural dan expor impor (exim), dipisahkan lagi menjadi:
  1. Yang membidangi rural menjadi Bank Rakyat Indonesia dengan UU No 21 Tahun 1968.
  2. Yang membidangi Exim dengan UU No 22 Tahun 1968 menjadi Bank Expor Impor Indonesia.
  • Bank Negara Indonesia (BNI '46)
    Bank ini menjalani BNI Unit III dengan UU No 17 Tahun 1968 berubah menjadi Bank Negara Indonesia '46.
  • Bank Dagang Negara(BDN)
    BDN berasal dari Escompto Bank yang di nasionalisasikan dengan PP No 13 Tahun 1960, namun PP (Peraturan Pemerintah) ini dicabut dengan diganti dengan UU No 18 Tahun 1968 menjadi Bank Dagang Negara. BDN merupakan satu-satunya Bank Pemerintah yangberada diluar Bank Negara Indonesia Unit.
  • Bank Bumi Daya (BBD)
    BBD semula berasal dari Nederlandsch Indische Hendles Bank, kemudian menjadi Nationale Hendles Bank, selanjutnya bank ini menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV dan berdasarkan UU No 19 Tahun 1968 menjadi Bank Bumi Daya.
  • Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo)
  • Bank Pembangunan Daerah (BPD)
    Bank ini didirikan di daerah-daerah tingkat I. Dasar hukumnya adalah UU No 13 Tahun 1962.
  • Bank Tabungan Negara (BTN)
    BTN berasal dari De Post Paar Bank yang kemudian menjadi Bank Tabungan Pos tahun 1950. Selanjutnya menjadi Bank Negara Indonesia Unit V dan terakhir menjadi Bank Tabungan Negara dengan UU No 20 Tahun 1968.
  • Bank Mandiri
    Bank Mandiri merupakan hasil merger antara Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Expor Impor Indonesia (Ban Exim). Hasil merger keempat bank ini dilaksanakan pada tahun 1999.

Tujuan jasa perbankan

Jasa bank sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Jasa perbankan pada umumnya terbagi atas dua tujuan. Pertama, sebagai penyedia mekanisme dan alat pembayaran yang efesien bagi nasabah. Untuk ini, bank menyediakan uang tunai, tabungan, dan kartu kredit. Ini adalah peran bank yang paling penting dalam kehidupan ekonomi. Tanpa adanya penyediaan alat pembayaran yang efesien ini, maka barang hanya dapat diperdagangkan dengan cara barter yang memakan waktu.

Kedua, dengan menerima tabungan dari nasabah dan meminjamkannya kepada pihak yang membutuhkan dana, berarti bank meningkatkan arus dana untuk investasi dan pemanfaatan yang lebih produktif. Bila peran ini berjalan dengan baik, ekonomi suatu negara akan menngkat. Tanpa adanya arus dana ini, uang hanya berdiam di saku seseorang, orang tidak dapat memperoleh pinjaman dan bisnis tidak dapat dibangun karena mereka tidak memiliki dana pinjaman.

Pengetahuan Dasar Kredit Sindikasi

Sejarah Kredit Sindikasi Di Indonesia

Surat Edaran Bank Indonesia No. SE.6/33/UPKl tanggal Oktober 1973 mengatur tentang pembiayaan bersama oleh bank-bank pemerintah KONSORSIUM Surat Edaran Bank Indonesia No. SE.11/26/UPK tanggal 12 Januari 1979 mengatur bahwa bank-bank milik pemerintah yang memberikan kredit investasi di atas Rp 500 juta dan kredit modal kerja di atas Rp750 juta wajib menawarkan pembiayaan secara konsorsium kepada bank-bank milik pemerintah juga.

Surat Edaran Bank Indonesia No. SE.16/1/UKU tanggal 1 Juni 1983 mengatur bahwa pelaksanaan pembiayaan secara konsorsium diserahkan kepada bank-bank milik pemerintah sendiri.

Ciri-ciri Utama Kredit Sindikasi

  • Terdiri atas lebih dari satu kreditur
  • Satu bunga bagi nasabah
  • Dokumentasi kredit yang sama
  • Adanya peranan agen
  • Tanggung jawab berbagi
  • o Besarnya jumlah kredit
Manfaat Kredit Sindikasi Bagi Nasabah
  • Mendapat dana dalam jumlah besar
  • Nasabah cukup berhubungan dengan satu bank » Efisien
  • Memupuk record dengan bank lain
  • Kredibilitas
  • Mendapat dana lebih murah
  • Flexible Structure
Manfaat Kredit Sindikasi Bagi Bank
  • Mengatasi BMPK
  • Menyebarkan resiko
  • Profit motives
  • Produk lebih menarik bagi nasabah misal pinjaman dalam berbagai
  • valuta
Pihak pihak Dalam Kredit Sindikasi

Arranger, Co-Arranger,
Bookrunner
Agent :
- Facility Agent
- Security Agent
Participant
Underwriter



Senin, 22 Desember 2008

BANK WAJIB TERAPKAN REVISI PSAK PADA TAHUN 2010

JAKARTA: Bank Indonesia mewajibkan bank menggunakan laporan keuangan dengan mengacu pada revisi PSAK 50/2006 dan PSAK 55/2006 mulai 2009 sementara standar akuntansi internasional akan diadopsi penuh pada 2010.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Siti Ch. Fadjrijah mengatakan perbankan dan lembaga keuangan diberikan kesempatan mempelajari tahapan-tahapan penyampaian laporan keuangan berdasarkan standar akuntansi internasional.

"Bagi bank syariah menunggu panduan yang dikeluarkan oleh IFSB [Islamic Financial Service Board]," katanya saat dihubungi Bisnis, kemarin.

Deputi Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI I Gde Made Sadguna menjelaskan sebagian besar standar akuntansi untuk laporan keuangan bank disesuaikan dengan standar internasional.

"PSAK 50 dan 55 sudah sesuai dengan International Financial Reporting Standards (IFRS) dan berlaku 1 Januari 2009. Pada 2010 akan dilakukan adopsi penuh tanpa diskresi," katanya saat dihubungi Bisnis, kemarin.

Penyusunan standar akuntansi keuangan (PSAK) 55/2006 tentang instrumen keuangan, pengakuan dan pengukuran. Sementara itu, PSAK 50/2006 tentang penyajian dan pengungkapan dari instrumen keuangan.

Tahun ini, laporan keuangan bank dan institusi keuangan publik diwajibkan mene-rapkan tiga revisi PSAK dari Dewan Standar Akuntansi Keuangan terkait aktiva, dalam rangka konvergensi dengan International Accounting Standards (IAS) dan IFRS.

PSAK aktiva

Sriyanto, Direktur Teknis Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), mengatakan tiga revisi standar akuntansi tersebut berupa PSAK 13/2006 tentang akuntansi untuk investasi berubah menjadi properti investasi, PSAK 16/2006 mengenai aktiva tetap dan aktiva lain-lain berubah menjadi aset tetap. PSAK 30/2007 terkait akuntansi sewa guna usaha juga diubah menjadi sewa.

Pada tiga PSAK itu, terdapat sejumlah diskresi nasional seperti penerapan akuntansi pengakuan kepemilikan perusahaan pada aset tetap berupa tanah.

Pada hukum nasional, kepemilikan tanah dengan status hak milik hanya diperbolehkan bagi perorangan/individu dan bukan perusahaan yang cuma diberikan hak guna ataupun sewa.

Dalam tiga revisi PSAK aktiva itu, pelaporan akuntansi perusahaan mencakup aset tetap berupa tanah tersebut, meskipun IFRS tidak memasukkannya. Selain itu, ada pe-nerapan nilai wajar (fair value) terhadap tanah sebagai aset tetap dengan mengacu harga pasar.

Di sisi lain, Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono mengatakan fokus perbankan tahun ini disesuaikan dengan kebijakan BI yang diperkirakan merupakan respons kekhawatiran dampak resesi makroekonomi global.

"Tahun ini, rencana bisnis bank akan mengikuti BI yang saya kira harus memerhatikan dua hal yaitu kenaikan harga minyak dunia dan kemungkinan resesi ekonomi di AS."

Direktur Global Market Research Deustche Bank Taimur Baig mengatakan perbankan di Asia termasuk Indonesia memiliki daya tahan terhadap kejadian subprime mortgage di AS dan Eropa.

"Bank-bank di Asia masih terlalu tertutup dalam laporan akhir tahunnya dibandingkan dengan bank-bank Eropa dan AS," ujarnya, kemarin. (03) (fahmi. achmad@bisnis.co.id)