UU JPSK kembali diajukan pemerintah medio Januari lalu dalam bentuk RUU. Meski pasal mengenai imunitas hukum telah dihapus, kekebalan tetap melekat pada Menkeu dan pejabat KSSK yang lain. Mengapa?
PENOLAKAN anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas Peraturan Pemerintah Pengganti (Perpu) Undang-Undang (UU) mengenai Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) tidak lantas mematahkan semangat pemerintah untuk kembali mengajukannya dalam bentuk rancangan UU (RUU). Bahkan, pemerintah berani menargetkan pembahasan RUU ini dapat diselesaikan dalam waktu satu bulan saja, sehingga pertahanan sistem keuangan dapat segera dilahirkan.
Sebelumnya, beberapa anggota DPR, seperti Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Bintang Reformasi, dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menolak beberapa isi yang terdapat dalam UU tersebut. Sementara, empat fraksi lain menyarankan agar pemerintah kembali mengajukannya dalam bentuk RUU JPSK.
Ditolaknya pengajuan Perpu JPSK menjadi UU oleh DPR sangat disayangkan beberapa praktisi di sekor keuangan, khususnya perbankan. Pasalnya, komite ini sebenarnya menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa ditawar mengingat kondisi keuangan global yang masih akan menyentuh perekonomian nasional hingga satu semester ke depan.
Jika UU JPSK atau Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) ini tidak segera diberlakukan, dikhawatirkan terjadinya bank collaps bisa berdampak sistemik terhadap stabilitas sistem keuangan. UU ini lebih jauh diperlukan sebagai langkah antisipasi menghadapi krisis. “Coba lihat tindakan penyelamatan yang dilakukan pemerintah terhadap kasus Bank Century yang membuat perbankan ini tetap stabil, dan bayangkan jika pemerintah tidak segera mengambil sikap waktu itu,” ujar salah seorang bankir.
Beberapa negara, seperti Korea dan Jepang, bahkan sudah memilikinya. UU semacam JPSK di negara ini berperan sebagai pertolongan pertama akibat dampak krisis. Perbankan nasional sendiri mengakui, UU JPSK sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas di sektor keuangan. Kalangan praktisi melalui Ikatan Bankir Indonesia (IBI) menyebutkan, UU ini sebagai payung hukum bagi penyelamatan bank yang dapat berdampak sistemik bagi stabilitas keuangan nasional.
Lalu, mengapa UU ini ditolak di DPR? Ada beberapa alasan. Satu, DPR menilai, cakupan dari skema dana talangan dianggap terlalu luas. Dua, pertanggungjawaban publik atas dana tersebut dinilai terlalu longgar karena tidak melibatkan DPR (tidak ada penjelasan rinci mengenai peranan pengawasan DPR). Tiga, mekanisme pengambilan keputusan dianggap menimbulkan imunitas hukum bagi Menteri Keuangan (Menkeu) dan juga Gubernur Bank Indonesia (BI).
Alasan yang terakhir itu yang kemudian kembali menciptakan polemik tersendiri. Seperti halnya dijelaskan dalam pasal 29 Perpu No. 4/2008 bahwa Menkeu, Gubernur BI, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai dengan perpu ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam perpu.
Bunyi pasal tersebut kemudian diterjemahkan menjadi: segala kebijakaan yang diambil Menkeu dan Gubernur BI dalam rangka penyelamatan dianggap kebal hukum, yang kemudian menimbulkan pertentangan (kontra) di banyak pihak.
Kalimat penolakan juga disampaikan pengamat ekonomi yang juga tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit (TIB), Iman Sugema. Menurut Iman, ada beberapa kelemahan yang terdapat dalam UU JPSK yang diajukan pemerintah. Satu, dalam JPSK, bailout tidak dibatasi, dalam arti semua lembaga keuangan bisa di-bailout.
Permasalahannya menurut Iman, Indonesia bukanlah pemerintahan yang kaya. Jadi, bailout tetap harus dibatasi. Lagi pula, saat ini peran asuransi dan lembaga keuangan lain kontribusinya masih sangat kecil dari gross domestic product (GDP). Berbeda dengan di Amerika Serikat (AS), yang industri asuransinya memang sudah besar.
“Di Indonesia, best practic-nya masih bank. Asetnya sekitar 50% dari GDP. Lagi pula, pemerintah harus bisa menentukan yang prioritas atau yang bisa menimbulkan dampak sistemik itu yang seperti apa. Di AS, bisnis asuransinya justru lebih besar dibandingkan bank, begitu juga dengan capital market-nya. Mungkin, ke depan kalau Indonesia sudah maju akan mengarah seperti itu. Sementara, saat ini yang menuju risiko sistemik itu masih bank,” terang Iman kepada Kristopo dari Infobank.
Dua, lanjut Iman, pengambilan keputusan itu tetap harus bisa dipertanggungjawabkan, dalam arti tidak ada pasal mengenai imunitas karena bisa memicu moral hazard. “Seorang pejabat publik harus berani menanggung risiko karena tanggung jawab itu harus sesuai dengan kewenangan. Jangan membuat sistem yang bisa membuat masalah. Karenanya, saya menilai, dalam hal ini DPR, jauh lebih cerdas dan rasional dibandingkan pemerintah,” tukasnya.
Menyoal kekebalan hukum sang Menkeu dan Gubernur BI, Raden Pardede, Sekretaris KSSK, memberikan tanggapan berbeda. Menurutnya, ada kesalahpahaman dalam menyikapi persoalan imunitas ini. Menurut Raden, sebenarnya, setiap orang atau pejabat yang melaksanakan kebijakan sesuai dengan UU tidak dapat dihukum. Artinya, poin ini memang tidak perlu dimasukkan kembali ke dalam UU JPSK. “Itu sudah kami hilangkan. Tidak masalah karena UU-nya juga berbunyi begitu,” tuturnya.
Pemerintah sendiri mengaku sudah melakukan perubahan atas isi UU tersebut dan mengajukannya kembali dalam bentuk RUU. “RUU JPSK itu isinya sudah direvisi berdasarkan apa yang kemarin menjadi masukan pemerintah,” terang Raden, medio Januari lalu, kepada Infobank.
Dalam RUU tersebut, Menku sebagai Ketua KSSK akan berkoordinasi dengan Gubernur BI dalam mengukur dampak sistemik yang mungkin timbul. Kebijakan penyelamatan atau pencegahan ini tentu akan membutuhkan dana yang relatif besar. Karenanya, Menkeu sebagai yang bertanggung jawab terhadap keuangan negara perlu melakukan analisis fiskal dalam penggunaan dana-dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Hal ini tentunya akan dipertanggungjawabkan kepada DPR.
UU mengenai JPSK diakui beberapa pihak sangat mendesak dibutuhkan untuk mengantisipasi kondisi krisis. Sebagai langkah antisipasi, tentunya UU dibuat untuk bisa mengatasi permasalahan yang mungkin timbul. Kalimat ini pula yang bisa menjawab pertanyaan mengapa UU JPSK juga mencakup seluruh lembaga keuangan bukan bank (LKBB), seperti asuransi, dana pensiun, dan pasar modal.
“Dalam membuat suatu UU, kita juga harus melihat situasi ke depan. Yang akan datang seperti apa. Meski, saat ini peran LKBB masih kecil, LKBB ini ‘kan terus diarahkan agar menjadi besar karena merekalah yang membesarkan pasar modal. Nah, dari pengalaman di negara lain, LKBB juga bisa berdampak sistemik apabila size-nya besar. Karenanya, dalam draf UU yang baru, pemerintah tetap memasukkan hal ini dan siap untuk melakukan diskusi terbuka,” urai Raden.
Semua pihak berharap, UU ini bisa segera disahkan, khususnya di tengah situasi yang tidak menentu seperti ini. Jika ditanya seberapa mendesakkah kebutuhan UU JPSK, maka jawabannya akan sama seperti jika ditanyakan perlukah ada pemadam kebakaran.
“Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Jadi, sepatutnyalah kita bersiap-siap dengan langkah antisipasi,” ujar Raden lagi. Semoga saja JPSK benar-benar bisa menjalankan perannya sebagai pemadam huru-hara sektor keuangan akibat krisis. (Sumber:infobank)
Sebelumnya, beberapa anggota DPR, seperti Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Bintang Reformasi, dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menolak beberapa isi yang terdapat dalam UU tersebut. Sementara, empat fraksi lain menyarankan agar pemerintah kembali mengajukannya dalam bentuk RUU JPSK.
Ditolaknya pengajuan Perpu JPSK menjadi UU oleh DPR sangat disayangkan beberapa praktisi di sekor keuangan, khususnya perbankan. Pasalnya, komite ini sebenarnya menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa ditawar mengingat kondisi keuangan global yang masih akan menyentuh perekonomian nasional hingga satu semester ke depan.
Jika UU JPSK atau Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) ini tidak segera diberlakukan, dikhawatirkan terjadinya bank collaps bisa berdampak sistemik terhadap stabilitas sistem keuangan. UU ini lebih jauh diperlukan sebagai langkah antisipasi menghadapi krisis. “Coba lihat tindakan penyelamatan yang dilakukan pemerintah terhadap kasus Bank Century yang membuat perbankan ini tetap stabil, dan bayangkan jika pemerintah tidak segera mengambil sikap waktu itu,” ujar salah seorang bankir.
Beberapa negara, seperti Korea dan Jepang, bahkan sudah memilikinya. UU semacam JPSK di negara ini berperan sebagai pertolongan pertama akibat dampak krisis. Perbankan nasional sendiri mengakui, UU JPSK sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas di sektor keuangan. Kalangan praktisi melalui Ikatan Bankir Indonesia (IBI) menyebutkan, UU ini sebagai payung hukum bagi penyelamatan bank yang dapat berdampak sistemik bagi stabilitas keuangan nasional.
Lalu, mengapa UU ini ditolak di DPR? Ada beberapa alasan. Satu, DPR menilai, cakupan dari skema dana talangan dianggap terlalu luas. Dua, pertanggungjawaban publik atas dana tersebut dinilai terlalu longgar karena tidak melibatkan DPR (tidak ada penjelasan rinci mengenai peranan pengawasan DPR). Tiga, mekanisme pengambilan keputusan dianggap menimbulkan imunitas hukum bagi Menteri Keuangan (Menkeu) dan juga Gubernur Bank Indonesia (BI).
Alasan yang terakhir itu yang kemudian kembali menciptakan polemik tersendiri. Seperti halnya dijelaskan dalam pasal 29 Perpu No. 4/2008 bahwa Menkeu, Gubernur BI, dan/atau pihak yang melaksanakan tugas sesuai dengan perpu ini tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam perpu.
Bunyi pasal tersebut kemudian diterjemahkan menjadi: segala kebijakaan yang diambil Menkeu dan Gubernur BI dalam rangka penyelamatan dianggap kebal hukum, yang kemudian menimbulkan pertentangan (kontra) di banyak pihak.
Kalimat penolakan juga disampaikan pengamat ekonomi yang juga tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit (TIB), Iman Sugema. Menurut Iman, ada beberapa kelemahan yang terdapat dalam UU JPSK yang diajukan pemerintah. Satu, dalam JPSK, bailout tidak dibatasi, dalam arti semua lembaga keuangan bisa di-bailout.
Permasalahannya menurut Iman, Indonesia bukanlah pemerintahan yang kaya. Jadi, bailout tetap harus dibatasi. Lagi pula, saat ini peran asuransi dan lembaga keuangan lain kontribusinya masih sangat kecil dari gross domestic product (GDP). Berbeda dengan di Amerika Serikat (AS), yang industri asuransinya memang sudah besar.
“Di Indonesia, best practic-nya masih bank. Asetnya sekitar 50% dari GDP. Lagi pula, pemerintah harus bisa menentukan yang prioritas atau yang bisa menimbulkan dampak sistemik itu yang seperti apa. Di AS, bisnis asuransinya justru lebih besar dibandingkan bank, begitu juga dengan capital market-nya. Mungkin, ke depan kalau Indonesia sudah maju akan mengarah seperti itu. Sementara, saat ini yang menuju risiko sistemik itu masih bank,” terang Iman kepada Kristopo dari Infobank.
Dua, lanjut Iman, pengambilan keputusan itu tetap harus bisa dipertanggungjawabkan, dalam arti tidak ada pasal mengenai imunitas karena bisa memicu moral hazard. “Seorang pejabat publik harus berani menanggung risiko karena tanggung jawab itu harus sesuai dengan kewenangan. Jangan membuat sistem yang bisa membuat masalah. Karenanya, saya menilai, dalam hal ini DPR, jauh lebih cerdas dan rasional dibandingkan pemerintah,” tukasnya.
Menyoal kekebalan hukum sang Menkeu dan Gubernur BI, Raden Pardede, Sekretaris KSSK, memberikan tanggapan berbeda. Menurutnya, ada kesalahpahaman dalam menyikapi persoalan imunitas ini. Menurut Raden, sebenarnya, setiap orang atau pejabat yang melaksanakan kebijakan sesuai dengan UU tidak dapat dihukum. Artinya, poin ini memang tidak perlu dimasukkan kembali ke dalam UU JPSK. “Itu sudah kami hilangkan. Tidak masalah karena UU-nya juga berbunyi begitu,” tuturnya.
Pemerintah sendiri mengaku sudah melakukan perubahan atas isi UU tersebut dan mengajukannya kembali dalam bentuk RUU. “RUU JPSK itu isinya sudah direvisi berdasarkan apa yang kemarin menjadi masukan pemerintah,” terang Raden, medio Januari lalu, kepada Infobank.
Dalam RUU tersebut, Menku sebagai Ketua KSSK akan berkoordinasi dengan Gubernur BI dalam mengukur dampak sistemik yang mungkin timbul. Kebijakan penyelamatan atau pencegahan ini tentu akan membutuhkan dana yang relatif besar. Karenanya, Menkeu sebagai yang bertanggung jawab terhadap keuangan negara perlu melakukan analisis fiskal dalam penggunaan dana-dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Hal ini tentunya akan dipertanggungjawabkan kepada DPR.
UU mengenai JPSK diakui beberapa pihak sangat mendesak dibutuhkan untuk mengantisipasi kondisi krisis. Sebagai langkah antisipasi, tentunya UU dibuat untuk bisa mengatasi permasalahan yang mungkin timbul. Kalimat ini pula yang bisa menjawab pertanyaan mengapa UU JPSK juga mencakup seluruh lembaga keuangan bukan bank (LKBB), seperti asuransi, dana pensiun, dan pasar modal.
“Dalam membuat suatu UU, kita juga harus melihat situasi ke depan. Yang akan datang seperti apa. Meski, saat ini peran LKBB masih kecil, LKBB ini ‘kan terus diarahkan agar menjadi besar karena merekalah yang membesarkan pasar modal. Nah, dari pengalaman di negara lain, LKBB juga bisa berdampak sistemik apabila size-nya besar. Karenanya, dalam draf UU yang baru, pemerintah tetap memasukkan hal ini dan siap untuk melakukan diskusi terbuka,” urai Raden.
Semua pihak berharap, UU ini bisa segera disahkan, khususnya di tengah situasi yang tidak menentu seperti ini. Jika ditanya seberapa mendesakkah kebutuhan UU JPSK, maka jawabannya akan sama seperti jika ditanyakan perlukah ada pemadam kebakaran.
“Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Jadi, sepatutnyalah kita bersiap-siap dengan langkah antisipasi,” ujar Raden lagi. Semoga saja JPSK benar-benar bisa menjalankan perannya sebagai pemadam huru-hara sektor keuangan akibat krisis. (Sumber:infobank)