Fidusia menurut asal katanya berasal dari bahasa Romawi 
"fides" yang  berarti kepercayaan. Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal  dalam bahasa Indonesia.
Begitu pula istilah ini digunakan dalam  Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam  terminologi Belanda istilah ini sering disebut secara lengkap yaitu  "Fiduciare Eigendom Overdracht" (F.E.O.) yaitu penyerahan hak milik secara  kepercayaan. Sedangkan dalam istilah bahasa Inggris disebut "Fiduciary  Transfer of Ownership". Pengertian fidusia adalah pengalihan hak  kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa  benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik  benda.
Jaminan Fidusia merupakan salah satu  bentuk agunan atas kebendaan atau jaminan kebendaan (zakelijke  zekerheid, security righat in rem).
Konstruksi jaminan fidusia adalah  penyerahan hak milik secara kepercayaan, atas kebendaan atau  barang-barang bergerak milik debitur kepada kreditur dengan penguasaan  fisik atas  barang-barang itu tetap pada debitur, dengan ketentuan bahwa  jika debitur melunasi hutangnya sesuai dengan waktu yang telah  ditetapkan, maka kreditur berkewajiban untuk mengembalikan hak milik  atas kebendaan atau barang-barang tersebut kepada debitur. Dalam  khazanah ilmu hukum, penyerahan kebendaan seperti ini dinamakan  “constitutum possessorium”. 
Dalam fidusia, setelah debitor melunasi utangnya, maka kreditor harus  menyerahkan kembali hak milik atas benda tersebut kepada debitor, dan  sebaliknya apabila debitor wanprestasi, maka kreditor berhak untuk  menjual barang tersebut sebagai jaminan pelunasan utang. Kreditor akan  menyita barang (miliknya) debitor melalui sita revindikatoir.
Sebelum ditertibkannya Undang-Undang Fidusia, ketentuan tentang  kelembagaan fidusia diatur didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992  tentang Perumahan dan Pemukiman, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985  tentang Rumah Susun. Namun dalam rangka memberikan perlindungan hukum  bagi pihak yang berkepentingan, maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 42  tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Jaminan Fidusia).
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia            (UU  Jaminan Fidusia) membedakan definisi fidusia dengan jaminan fidusia.  Dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan :
“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar  kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya  dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”.
 Kemudian Pasal 1 butir 2 menyebutkan :
“Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang  berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya  bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud  dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap  berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan  utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima  fidusia terhadap kreditor lainnya”.
 Rumusan yang membedakan pengertian  fidusia dengan jaminan fidusia menimbulkan anggapan bahwa Undang-Undang  Nomor 42 Tahun 1999 telah memberikan nama baru bagi lembaga hak jaminan  yang semula dikenal sebagai fidusia, yaitu jaminan fidusia. Akan tetapi  pembedaan ini masih dapat dipertanyakan konsistensinya jika melihat  ternyata Undang-Undang ini menyebut pemberi fidusia terhadap pihak yang  memberi jaminan fidusia dan penerima fidusia terhadap kreditor selaku  pihak yang menerima jaminan fidusia. Apalagi jika kemudian kita  hubungkan dengan ketentuan Pasal 33 yang berbunyi :
“Setiap janji yang memberikan kewenangan kepada penerima fidusia untuk  memiliki benda yang menjadi objek jaminan fidusia apabila kreditor  cedera janji, batal demi hukum”.
 Perjanjian jaminan fidusia merupakan  perjanjian yang lahir dan tidak terpisahkan dari perjanjian  pinjam-meminjam atau perjanjian kredit. Hal ini memberikan bukti bahwa  perjanjian jaminan fidusia tidak mungkin ada tanpa didahului oleh suatu  perjanjian pinjam-meminjam atau perjanjian kredit sebagai perjanjian  pokok atau perjanjian induknya. 
Dalam Pasal 5 ayat (1) UU Jaminan Fidusia, diatur mengenai pembebanan  benda dengan jaminan fidusia, dituangkan dengan akta Notaris :
“Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta Notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia”.
 Menurut Pasal 1 angka (7) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang               Jabatan Notaris :
“Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan  Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang  ini.”
Namun UU Jaminan Fidusia tidak mengatur mengenai definisi dari akta  Notaris tersebut, maka tentu saja definisi akta notaris tersebut hanya  akan mengacu pada Pasal 1  angka (7) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang  Jabatan Notaris tersebut.
Kewajiban akta jaminan fidusia dibuat dengan akta Notaris dalam bahasa  Indonesia sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 5 ayat (1) UU Jaminan  Fidusia, mengisyaratkan bahwa pembuatan aktanya tunduk pada ketentuan  Pasal 38 sampai dengan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004  tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris).
Penegasan bentuk perjanjian jaminan fidusia dengan akta Notaris oleh  pembuat Undang-Undang Fidusia, seharusnya ditafsirkan sebagai norma  hukum yang bersifat imperatif (memaksa) bukan bersifat fakultatif. Hal  ini akan semakin jelas jika dikaitkan dengan proses terjadinya jaminan  fidusia ketika dilakukan pendaftaran di Kantor Pendaftaran Fidusia,  yaitu permohonan pendaftaran jaminan fidusia harus dilengkapi dengan  salinan akta Notaris tentang pembebanan jaminan fidusia. Konsekuensi  yuridis selanjutnya adalah merupakan rangkaian yang sangat penting dan  menentukan yaitu saat kelahiran jaminan fidusia.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU Jaminan Fidusia,  pendaftaran jaminan fidusia dilakukan dengan mengajukan surat permohonan  kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, dengan melampirkan Surat Pernyataan  Pendaftaran Jaminan Fidusia. Permohonan pendaftaran jaminan fidusia  tersebut diajukan oleh Penerima Fidusia sendiri, kuasa, atau wakilnya.  Kuasa disini adalah mereka yang mendapat pelimpahan wewenang berdasarkan  Surat Kuasa dari Penerima Fidusia, sedangkan wakil disini adalah mereka  yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan berwenang untuk  melakukan Pendaftaran Jaminan Fidusia.  Pada prakteknya, umumnya  pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh Notaris sebagai kuasa dari  pihak Penerima Fidusia.
Perlu juga mendapat perhatian, bahwa perjanjian fidusia sebagaimana yang  dimaksud dalam Undang-Undang Fidusia berlaku bukan hanya untuk  keperluan yang berkaitan dengan perjanjian kredit di lingkungan  perbankan, tetapi juga mencakup perjanjian kredit/pinjaman di lingkungan  lembaga pembiayaan lainnya. 
Pembebanan jaminan fidusia dalam aspek operasionalnya dilaksanakan  melalui dua tahap, yaitu tahap pemberian jaminan fidusia dan tahap  pendaftaran jaminan fidusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2),  Pasal 13 ayat (14) undang-undang Jaminan Fidusia, dan Peraturan  Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan dan  Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. 
Karena UU Jaminan Fidusia mengatur bahwa akta fidusia dibuat dengan akta  Notaris, maka berkaitan dengan hal tersebut kita harus mengingat adanya  pembedaan dua jenis akta Notaris, yaitu :
a. Akta yang dibuat “oleh” (door) Notaris atau yang dinamakan “akta relaas” atau “akta pejabat” (Ambtelijke Akte).
b. Akta yang dibuat “di hadapan” (ten overstaan) Notaris atau yang dinamakan “akta para pihak” (Partij Akte). 
Berkaitan dengan adanya dua jenis akta Notaris tersebut, jika  dihubungkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Jaminan Fidusia,  tidaklah jelas apakah akta fidusia termasuk “Ambtelijke Akte” (akta  relaas/akta pejabat) atau termasuk jenis “Partij Akte” (akta para  pihak). 
Dari uraian pada pendahuluan, maka dapat disimpulkan dua permasalahan, yaitu sebagai berikut :
1. Apakah akta jaminan fidusia itu termasuk jenis Ambtelijk Akte atau  Partij Akte ?
2. Bagaimana perlindungan hukum bagi kreditor dalam hal tidak didaftarkannya akta jaminan fidusia oleh notaris ?
 Menurut Pasal 6 UU Jaminan Fidusia,  dinyatakan bahwa Akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5  UU Jaminan Fidusia sekurang-kurangnya memuat :
 
1.  Identitas Pemberi dan Penerima Fidusia
    Dengan melihat kepada kewajiban notaris untuk mencantumkan  identitas penghadapnya sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 UU Jaminan  Fidusia, dan dengan mendasarkan kepada ketentuan Pasal 38 UU Jabatan  Notaris, maka ketentuan Pasal 6 huruf a UU Jaminan Fidusia hanya  berfungsi mengingatkan saja. Karena ada kemungkinan, bahwa pemberi  fidusia adalah pihak ketiga, maka adalah logis dengan pertimbangan  kepastian hukum bahwa dalam hal demikian perlu pula disebutkan identitas  debitor yang bersangkutan, sebab dalam peristiwa seperti itu, pemberi  fidusia dan debitor adalah dua orang  yang berlainan.
 2.    Data Perjanjian Pokok
      Dalam Penjelasan Pasal 6 huruf b UU Jaminan Fidusia dikatakan  bahwa data perjanjian pokok adalah mengenai macam perjanjian dan hutang  yang dijamin. Karena tujuannya adalah demi kepastian hukum, maka  hubungan hukum pokoknya yang dijamin menjadi tertentu.
 3.    Uraian Tentang Benda Jaminan
      Syarat yang disebutkan dalam huruf c mengenai uraian benda  jaminan adalah sayarat yang logis, karena UU Jaminan Fidusia memang  hendak memberikan kepastian hukum yang hanya dapat diberikan kalau  data-datanya tersaji dengan pasti dan tertentu, yang mana syarat  tersebut sesuai dengan asas spesialitas yang dianutnya.
 4.   Nilai Penjaminan
     Nilai jaminan menunjukkan berapa besar beban yang diletakkan atas  benda jaminan. Syarat penyebutan besarnya nilai penjaminan mempunyai  kaitan yang erat dengan sifat hak jaminan fidusia sebagai hak yang  mendahulu atau preferen sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 2 jo  Pasal 27 UU Jaminan Fidusia.
Penyebutan nilai penjaminan diperlukan untuk menentukan sampai seberapa  besar kreditor preferen penerima fidusia maksimal dalam mengambil  pelunasan atas hasil penjualan benda jaminan fidusia. Sifat fidusia yang  accessoir menyebabkan besarnya tagihan ditentukan oleh perikatan  pokoknya. Dengan kata lain, besarnya beban jaminan ditentukan  berdasarkan besarnya beban yang dipasang (nilai jaminan) tetapi hak  preferensinya dibatasi oleh besarnya (sisa) hutang yang dijamin.
 5.    Nilai Benda Jaminan
     Berdasarkan Pasal 13 UU Jaminan Fidusia, yang mengajukan  permohonan pendaftaran adalah penerima fidusia, jadi yang mencantumkan  nilai benda jaminan dalam permohonan pendaftaran adalah penerima  fidusia. Mengenai waktu penyebutannya kiranya adalah patut dan logis  kalau penyebutan nilai benda jaminan fidusia adalah pada saat  penandatanganan akta fidusia.
Sebagaimana diuraikan dalam pendahuluan, akta yang dibuat oleh notaris  terbagi menjadi dua jenis/golongan, yaitu;
- akta yang dibuat oleh (door)  notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke  akten), dan
 - akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau  yang dinamai akta partij (partij akten).
 
Perbedaan dari kedua jenis akta itu dapat dilihat dari bentuk akta itu.  Pada akta partij/akta para pihak, undang-undang mengharuskan, dengan  ancaman akan kehilangan otentisitasnya atau dikenakan denda, adanya  tandatangan para pihak yang bersangkutan, atau setidaknya di dalam akta  itu diterangkan apa yang menjadi alasan tidak ditandatanganinya akta itu  oleh pihak atau para pihak yang bersangkutan, misalnya para pihak atau  salah satu pihak buta huruf, atau tangannya lumpuh, atau sebab lainnya.  Keterangan mana harus dicantumkan Notaris dalam akta itu dan keterangan  itu dalam hal ini berlaku sebagai ganti tandatangan. Dengan demikian  penandatanganan dari para pihak merupakan suatu keharusan pada akta  partij/akta para pihak.
Pada akta relaas/akta pejabat tidak menjadi soal apabila orang-orang  yang hadir menolak untuk menandatangani akta itu, misalnya pada  pembuatan berita acara rapat pemegang saham dalam perseroan terbatas  orang-orang yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum akta itu ditanda  tangani, maka Notaris cukup menerangkan dalam akta, bahwa para pemegang  saham yang hadir telah meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta  itu, dan dalam hal ini akta itu tetap merupakan akta otentik. 
Pembedaan kedua akta tersebut penting dalam kaitannya dengan beban  pembuktian sebaliknya (tegenbewijs) terhadap isi akta itu. Terhadap  kebenaran isi dari akta relaas/akta pejabat tidak dapat digugat, kecuali  dengan menuduh bahwa akta itu adalah palsu, sedangkan pada akta  partij/akta para pihak dapat digugat isinya tanpa menuduh akan  kepalsuannya, dengan jalan menyatakan bahwa keterangan dari para pihak  yang bersangkutan adalah tidak benar, artinya terhadap keterangan yang  diberikan itu diperkenankan pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). 
Pembedaan tersebut juga menimbulkan ciri pada masing-masing akta, maka  yang dapat dipastikan secara otentik dalam akta partij/akta para pihak  terhadap pihak lain, adalah :
1) Tanggal dari akta itu;
2) Tandatangan-tandatangan yang ada dalam akta itu;
3) Identitas dari orang-orang yang hadir;
4) Bahwa apa yang tercantum dalam akta itu adalah sesuai dengan apa yang  diterangkan oleh para penghadap kepada Notaris untuk dicantumkan dalam  akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya  pasti antara pihak-pihak yang bersangkutan sendiri.
 Mengacu pada pendapat atau teori dari  Hartkamp yang menyatakan bahwa perjanjian adalah tindakan hukum yang  terbentuk dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan perihal  aturan bentuk formal oleh perjumpaan pernyataan kehendak yang saling  bergantung satu sama lain sebagaimana dinyatakan oleh dua atau lebih  pihak, dan dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum demi kepentingan  salah satu pihak serta atas beban pihak lainnya, atau demi kepentingan  dan atas beban kedua belah (semua) pihak bertimbal balik,  diperoleh  hasil analisa bahwa tindakan hukum yang terbentuk dengan memperhatikan  ketentuan perundang-undangan perihal aturan bentuk formal oleh  perjumpaan pernyataan kehendak antara para pihak, yang dalam penelitian  ini diawali dengan perjanjian pokok berupa perjanjian kredit yang  kemudian pembebanannya dilakukan dengan akta jaminan fidusia,  dan  berpedoman pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Jaminan Fidusia, serta  ketentuan mengenai bentuk akta Notaris, yang termuat dalam Pasal 38  sampai dengan Pasal 65 UU Jabatan Notaris, serta mengacu pula pada  ketentuan dalam Pasal 6 UU Jaminan Fidusia, hasil penelitian terhadap  jenis akta jaminan fidusia memperoleh suatu kesimpulan bahwa; akta  jaminan fidusia adalah termasuk jenis akta partij atau akta para pihak. 
Ciri yang paling menonjol dalam akta jaminan fidusia yang memberikannya  kepastian secara otentik terhadap pihak lain, sehingga dapat digolongkan  sebagai jenis partij akte / akta para pihak, adalah :
1) Tanggal dari akta jaminan fidusia;
2) Tandatangan yang ada dalam akta jaminan fidusia;
3) Identitas dari para pihak maupun saksi;
4) Bahwa apa yang tercantum dalam akta jaminan fidusia itu adalah sesuai  dengan apa yang diterangkan oleh para pihak/para penghadap kepada  notaris untuk dicantumkan dalam akta itu.
 Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam Hal Tidak Didaftarkannya Akta Jaminan Fidusia oleh Notaris.
 Untuk memberikan kepastian hukum, Pasal  11 UU Jaminan Fidusia mewajibkan benda yang dibebani dengan jaminan  Fidusia untuk didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia.
Pendaftaran  memiliki arti yuridis sebagai suatu rangkaian yang tidak terpisah dari  proses terjadinya perjanjian jaminan fidusia, selain itu Pendaftaran  Jaminan Fidusia merupakan perwujudan dari azas publisitas dan kepastian  hukum.  Hak kebendaan dari jaminan Fidusia baru lahir sejak dilakukannya  pendaftaran pada Kantor Pendaftaran Fidusia dan sebagai buktinya adalah  diterbitkannya Sertifikat Jaminan Fidusia. 
Pasal 13 UU Jaminan Fidusia mengatur mengenai Pendaftaran Jaminan Fidusia, sebagai berikut:
(1) Permohonan Pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh Penerima  Fidusia, kuasa, atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran  Jaminan Fidusia.
 (2) Pernyataan pendaftaran sebagaimana dimaksud memuat :
-  Identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia.
 -  Tanggal, Nomor akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta Jaminan Fidusia.
 -  Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia.
 -  Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
 -  Nilai penjaminan.
 -  Nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
 
 (3) Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat  Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan  tanggal penerimaan pendaftaran.
 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata  cara pendaftaran Jaminan Fidusia dan biaya pendaftaran diatur dengan  Peraturan Pemerintah.
 Pendaftaran Jaminan Fidusia dibuat  dengan akta notaril, Pendaftaran fidusia yang tidak dibuat dengan akta  notaril maka aktanya tidak dapat didaftarkan.
Secara teoritis fungsi  akta adalah untuk kesempurnaan perbuatan hukum (Formalitas Causa) dan  sebagai alat bukti (Probationis Causa).  Dengan demikian akta yang  dibuat di bawah tangan akan mengakibatkan jaminan fidusia ini tidak  dapat didaftarkan karena akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan  pembuktian yang kuat karena tanda tangan pada akta di bawah tangan masih  bisa dipungkiri. Pendaftaran dilakukan setelah akta Jaminan Fidusia  telah ditandatangani oleh para pihak pada Kantor Pendaftaran Fidusia  ditempat kedudukan pihak pemberi fidusia. 
Pembebanan jaminan fidusia yang didahului dengan janji untuk memberikan  jaminan fidusia sebagai pelunasan atas hutang tertentu yang dituangkan  dalam akta jaminan fidusia. Akta jaminan fidusia dibuat dengan akta  notaris, hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU  Jaminan Fidusia, bahwa; pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat  dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan  fidusia. Dalam akta jaminan fidusia tersebut selain dicantumkan hari dan  tanggal, juga dicantumkan mengenai waktu (jam) pembuatan akta tersebut.
Setelah penanda tanganan akta pembebanan jaminan fidusia oleh para pihak  yang berkepentingan. Maka selanjutnya dilakukan pendaftaran akta  pembebanan jaminan fidusia pada kantor Pendaftaran fidusia. Hal ini  sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) UU Jaminan Fidusia yang mengatur bahwa;   benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. 
Penerima fidusia sendiri atau kuasanya atau wakilnya mengajukan permohonan ke Kantor Pendaftaran Fidusia yang memuat :
a. Identitas pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia yang meliputi  nama lengkap; agama; tempat tinggal; tempat kedudukan; tempat dan  tanggal lahir; jenis kelamin; status perkawinan, pekerjaan.
b. Tanggal dan nomor akta. jaminan fidusia, nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia
c.  Data perjanjian pokok.
d. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
e. Nilai penjaminan.
f.  Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
 Tujuan dari pendaftaran adalah  memberikan kepastian hukum kepada penerima fidusia dan pemberi fidusia  serta pihak ketiga yang berkepentingan. Segala keterangan mengenai benda  yang menjadi obyek jaminan fidusia terbuka untuk umum. Kecuali terhadap  barang persediaan, melalui sistem pendaftaran ini diatur ciri-ciri yang  sempurna dari jaminan fidusia sehingga memperoleh sifat sebagai hak  kebendaan dan asas droit de suite.
Dalam Penjelasan pasal 11 UU Jaminan Fidusia disebutkan bahwa  pendaftaran jaminan fidusia dilakukan di tempat kedudukan pemberi  fidusia, dalam hal ini adalah dilakukan pada Kantor Wilayah Kementerian  Hukum dan Hak Asasi Manusia yang ada di setiap Propinsi, di tempat  kedudukan pemberi fidusia. 
Kewajiban pendaftaran bersumber dari Pasal 11 UU Jaminan Fidusia.  Pendaftaran fidusia dilakukan terhadap hal-hal sebagai berikut :
(1) Benda Objek Jaminan Fidusia yang berada di dalam negeri (Pasal 11 ayat (l)).
(2) Benda Objek jaminan Fidusia yang berada di luar negeri           (Pasal 11 ayat (2)).
(3) Terhadap perubahan. isi Sertifikat jaminan Fidusia (Pasal 16   ayat  (1)). Perubahan ini tidak perlu dilakukan dengan akta notaris tetapi  perlu diberitahukan kepada para pihak.
 Maksud pendaftaran, dengan  memperhitungkan asas publisitas yang biasanya dianut dalam pelaksanaan  pendaftaran, adalah agar pihak ketiga mempunyai kesempatan untuk tahu  mengenai pendaftaran benda, ciri benda yang didaftar dan benda-benda  tententu terikat sebagai jaminan untuk keuntungan kreditor tertentu,  untuk suatu jumlah tertentu, dengan janji-janji tertentu. Sudah bisa  diduga, bahwa pendaftaran dimaksudkan agar mempunyai akibat terhadap  pihak ketiga. Dengan pendaftaran, maka pihak ketiga dianggap tahu  ciri-ciri yang melekat pada benda yang bersangkutan dan adanya ikatan  jaminan dengan ciri-ciri yang disebutkan di sana, dan dalam hal pihak  ketiga lalai untuk memperhatikan/mengontrol register/daftar, maka ia  dengan tidak bisa mengharapkan adanya perlindungan berdasarkan itikad  baik harus memikul risiko kerugian, namun sehubungan dengan adanya  Kantor Pendaftaran Fidusia yang hanya terbatas di kota-kota besar saja  dan hal itu membawa konsekuensi pada biaya yang harus dikeluarkan untuk  pendaftaran dan checking daftar. 
Suatu hal penting yang disebutkan dalam penjelasan atas Pasal 11, yang  tidak diatur dalam Pasal 11 itu sendiri adalah bahwa pendaftaran  dilakukan di tempat kedudukan pemberi fidusia. Kata tempat kedudukan  menarik perhatian kita, sebab sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 5  UU Jaminan Fidusia, pemberi fidusia bisa perseorangan maupun korporasi,  padahal sebutan tempat kedudukan biasanya tertuju kepada suatu  perseroan/perkumpulan, sedang untuk orang perorangan digunakan istilah  "tempat tinggal/kediaman” satau "domisili". 
Mengacu pada ketentuan dalam Pasal 13 UU Jaminan Fidusia mengenai  Pendaftaran Jaminan Fidusia, permohonan Pendaftaran Jaminan Fidusia  dilakukan oleh Penerima Fidusia, kuasa, atau wakilnya dengan melampirkan  pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia. Dalam hal ini Penerima Fidusia  dapat memberikan kuasa kepada notaris untuk melakukan pendaftaran  Jaminan Fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Dengan pemberian kuasa  tersebut, timbullah hubungan hukum antara kreditor selaku Penerima  Fidusia dengan notaris selaku pihak yang diberi kuasa oleh Penerima  Fidusia untuk melakukan pendaftaran Jaminan Fidusia.
Sebenarnya tidak ada ketentuan didalam Undang-Undang Jaminan Fidusia  yang mengatakan, bahwa fidusia yang tidak didaftarkan adalah tidak sah.  Hanya saja untuk memberlakukan ketentuan yang ada didalam UU Jaminan  Fidusia tersebut, maka haruslah dipenuhi syarat benda jaminan fidusia  itu didaftarkan.
Fidusia yang tidak didaftarkan, tidak bisa  menikmati keuntungan dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 37 ayat  (3) UU Jaminan Jaminan Fidusia.
Pasal 37 tersebut menyatakan apabila dalam jangka waktu enampuluh hari  terhitung sejak berdirinya Kantor Pendaftaran Fidusia, Jaminan fidusia  yang tidak didaftarkan tidak mempunyai hak yang didahulukan (preferen)  baik didalam maupun di luar kepailitan dan atau likuidasi. 
Untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditur maka dibuatlah akta yang  dibuat oleh Notaris dan didaftarkan kekantor pendaftaran Fidusia.  Setelah dilakukan pendaftaran maka kreditur akan memperoleh sertifikat  jaminan fidusia yang berirah-irah; “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan  Yan Maha Esa”. Dengan demikian memiliki kekuatan eksekutorial langsung  apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor  (parate eksekusi),hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 42 tahun  1999 tentang Jaminan Fidusia.
Berdasarkan Pasal 12 Ayat (1) UU Jaminan Fidusia, maka pelaksanaan  Pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia  (KPF). Kantor Pendaftaran Fidusia sebagaimana dimaksud berada dalam  lingkup tugas Kementerian Hukum dan HAM (Pasal 12 Ayat (3)), yang  sekarang pelaksanaannya dilakukan pada Bidang Hukum Kantor Wilayah  Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di setiap lbukota Propinsi,  dalam hal ini adalah Seksi Pelayanan dan Jasa Hukum. 
Dalam hal akta jaminan fidusia tidak didaftarkan dikantor pendaftaran  fidusia akan menimbulkan akibat hukum, yaitu Sertifikat Jaminan Fidusia  tidak dapat diterbitkan. Jika Sertifikat Jaminan Fidusia tidak  diterbitkan, maka tidak pernah lahir hak jaminan fidusia, sehingga  Penerima Fidusia akan mengalami kesulitan untuk mengeksekusi, apabila  Pemberi Fidusia atau Debitor wanprestasi atau cidera janji, karena dalam  UU Jaminan Fidusia telah dijelaskan bahwa apabila Pemberi Fidusia atau  Debitor wanprestasi maka benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat  dieksekusi dengan cara pelaksanaan title eksekutorial, penjualan benda  yang menjadi objek jaminan fidusia dan penjualan dibawah tangan. 
Para pihak dapat dengan sengaja atau karena kelalaiannya, tidak  mendaftarkan akta jaminan fidusia, antara lain disebabkan oleh Pemberi  Fidusia atau Debitor, Penerima Fidusia atau Kreditor, serta Notaris.  Kelalaian tersebut tentu saja dapat merugikan salah satu pihak atau  pihak ketiga yang berkepentingan atau dengan kata lain melanggar  ketentuan yang dimaksud dalam UU Jaminan Fidusia. Segala bentuk  kelalaian atau adanya kesengajaan terhadap pendaftaran jaminan fidusia  baik yang disebabkan oleh Pemberi Fidusia, Penerima Fidusia atau Notaris  dapat dianggap melakukan suatu perbuatan melanggar hukum. Kelalaian  atau kesengajaan tersebut dapat terjadi, karena UU Jaminan Fidusia tidak  merinci lebih tegas sampai kapan pendaftaran jaminan fidusia tersebut  harus didaftarkan, setelah Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia  menandatangani akta Jaminan Fidusia dihadapan Notaris.
Ketidaktegasan UU  Jaminan Fidusia tersebut menyebabkan adanya celah bagi Pemberi Fidusia,  Penerima Fidusia atau Notaris untuk tidak membebani objek jaminan  fidusia dan tidak mendaftarkannya kepada instansi yang berwenang.  Hal-hal tersebut telah secara jelas melanggar ketentuan yang dimaksud  dalam Jaminan Fidusia yang mewajibkan objek jaminan fidusia harus  dibebani dan harus didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia sesuai  dengan tempat dan kedudukan Pemberi Fidusia. Pembebanan dan pendaftaran  tersebut untuk memenuhi asas-asas jaminan fidusia dan untuk menghindari  adanya fidusia ulang, sehingga dengan adanya pembebanan dan pendafataran  akan memberikan perlindungan dan kepastian hukum.
Mengenai kewajiban notaris untuk mendaftarkan akta Jaminan Fidusia  setelah diberi kuasa oleh Penerima Fidusia, yang kemudian karena  kelalaiannya menyebabkan tidak didaftarkan akta Jaminan Fidusia setelah  penandatanganan akta Jaminan Fidusia,  merupakan tanggung jawab notaris  yang bersangkutan.
 Jika notaris wanprestasi (cidera janji), maka hal  tersebut akan merugikan Penerima Fidusia atau Kreditor selaku Pemegang  Fidusia. Dalam hal ini  Penerima Fidusia atau Kreditor dapat meminta  pertanggungjawaban dari notaris karena hal-hal tersebut, dan notaris  harus mempertanggungjawabkan kelalaian yang menyebabkan tidak  didaftarkannya akta Jaminan Fidusia sesuai dengan ketentuan yang  dimaksud dalam UU Jaminan Fidusia. 
Untuk mendalilkan suatu subjek hukum (dalam hal ini notaris, selaku  penerima kuasa pendaftaran jaminan fidusia) telah wanprestasi, harus  lebih dahulu ada perjanjian antara kedua belah pihak (dalam hal ini  perjanjian pemberian kuasa) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH  Perdata :
“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:  kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat  suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak  terlarang."
 Wanprestasi terjadi karena notaris  (pihak yang dibebani kewajiban) tidak memenuhi isi perjanjian yang  disepakati, yang dapat berupa :
a. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
 Pertanggungjawaban terhadap kelalaian  atau kesengajaan terhadap pembebanan objek jaminan fidusia dan  pendaftaran jaminan fidusia, apabila Pemberi Fidusia atau Debitor  wanprestasi sehingga merugikan pihak ketiga, maka notaris yang diberi  kuasa untuk melakukan pendaftaran dapat digugat dan dihukum oleh hakim  perdata untuk membayar ganti rugi kepada penggugat yang mengalami  kerugian akibat perbuatan melawan hukum itu, sehingga perbuatan hukum  yang dilakukan oleh Pemberi Fidusia atau Penerima Fidusia yang karena  kelalaian atau kesengajaannya tidak membebani dan mendaftarkan jaminan  fidusia, dan merugikan kepentingan pihak ketiga dapat dituntut secara  perdata. 
Dalam konsep yang paling dasar notarislah yang sebenarnya harus  memberikan arahan pentingnya tindak lanjut berupa pendaftaran terhadap  akta jaminan fidusia, sayang sekali undang-undang tidak mempressure hal  tersebut, sehingga dikalangan notarispun persaingan usaha tidak sehat  terjadi, berupa pemberian arahan-arahan yang seakan-akan pendaftaran  fidusia bisa belakangan, guna memberikan kesan bahwa notaris tersebut  sangat fleksibel, hal ini supaya klien merasa sangat mudah menggunakan  jasanya, padahal sebenarnya risiko ditinggalkan pada kliennya tersebut,  karena praktek demikian, maka sebenamya sebagian besar pelaku usaha yang  mendaftarkan jaminan fidusianya di Kantor Pendaftaran Fidusia lebih  didasarkan pada kesadaran pribadi dari pada adanya anjuran dari notaris.
UU Jaminan Fidusia sebenamya sudah sangat baik memberikan jaminan hukum  terhadap penerima fidusia, walaupun sebenamya ada juga kontroversinya,  seperti ternyata akta jaminan fidusia sekalipun dibuat oleh notaris,  yang notabene adalah pejabat umum sesuai sebagaimana tugasnya yang  diberikan oleh undang-undang, namun tidak berguna terhadap akta jaminan  fidusia yang tidak didaftarkan, sehingga sebenarnya posisi notaris  itupun tidak efektif, bahkan cenderung memberikan tambahan biaya  terhadap akta perjanjian fidusia, karena selain harus membayar biaya  jasa notaris yang dalam praktek kadang tidak sesuai dengan patokan harga  yang ada juga harus membayar biaya pendaftaran yang harganya juga  kadang di masing-masing daerah berbeda, padahal kita ketahui bersama  pendaftaran fidusia sangat penting, dengan kenyataan-kenyataan ini  tidaklah mengherankan banyak praktek akta jaminan fidusia hanya berakhir  di meja notaris, tentulah terhadap tindakan tersebut, pelaku usaha  (sepanjang tidak mendaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia) tidak  mendapat perlindungan sebagai kreditor preferent.
Terkait dengan kewajiban notaris untuk mendaftarkan akta Jaminan Fidusia  setelah diberi kuasa oleh Penerima Fidusia, yang kemudian karena  kelalaiannya menyebabkan tidak didaftarkan akta Jaminan Fidusia tersebut  setelah penandatanganan akta Jaminan Fidusia, merupakan tanggung jawab  notaris yang bersangkutan. Jika Pemberi Fidusia atau Debitor  wanprestasi, atau tidak memenuhi isi perjanjian yang disepakati,  sehingga merugikan Penerima Fidusia atau Kreditor selaku Pemegang  Fidusia, maka Penerima Fidusia atau Kreditor dapat meminta  pertanggungjawaban dari notaris karena hal tersebut, dan notaris harus  mempertanggungjawabkan kelalaian yang menyebabkan tidak didaftarkannya  akta Jaminan Fidusia sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam UU  Jaminan Fidusia. 
Pertanggungjawaban terhadap kelalaian atau kesengajaan notaris terhadap  pembebanan objek jaminan fidusia dan pendaftaran jaminan fidusia,  apabila Pemberi Fidusia atau Debitor wanprestasi, maka notaris yang  diberi kuasa untuk melakukan pendaftaran dapat digugat dan dihukum oleh  hakim perdata untuk membayar ganti rugi kepada penggugat yang mengalami  kerugian akibat perbuatan melawan hukum itu.
Kesimpulan
 Berdasarkan pembahasan mengenai jenis akta jaminan fidusia, dalam  kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap kreditor selaku pemegang  jaminan fidusia, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
-  Jenis akta jaminan fidusia adalah termasuk jenis akta partij atau  akta para pihak. Ciri yang paling menonjol dalam akta jaminan fidusia  yang memberikannya kepastian secara otentik terhadap pihak lain,  sehingga dapat digolongkan sebagai jenis akta partij/akta para pihak,  adalah adanya kepastian mengenai; tanggal dari akta jaminan  fidusia,tandatangan yang ada dalam akta jaminan fidusia, identitas dari  para pihak maupun saksi, dan yang terpenting adalah bahwa apa yang  tercantum dalam akta jaminan fidusia itu adalah sesuai dengan apa yang  diterangkan oleh para pihak/para penghadap kepada notaris untuk  dicantumkan dalam akta itu. 
 -  Perlindungan hukum terhadap kreditor dalam hal tidak didaftarkannya  akta jaminan fidusia, diwujudkan dalam surat kuasa  pendaftaran/pemasangan akta jaminan fidusia yang dibuat terpisah dengan  akta jaminan fidusia. Selain itu kreditor selaku pemegang jaminan  fidusia dapat meminta pertanggungjawaban notaris yang tidak melaksanakan  pendaftaran jaminan fidusia sesuai surat kuasa yang diberikan. Tanggung  jawab hukum notaris yang dapat dituntut oleh kreditor adalah membayar  ganti rugi kepada kreditor berdasarkan alasan hukum bahwa notaris telah  melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan kreditor.